Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – OECD berencana merilis ketentuan pajak digital pada tahun ini. Penerapan rezim pajak minimum (Global Intangible Law Tax Income/GILTI) di Amerika Serikat menjadi salah satu bahan acuan dalam mematangkan ketentuan pajak digital ini.
Sebenarnya, GILTI bukan ditujukan secara khusus untuk ekonomi digital. GILTI sejatinya sebagai upaya menciptakan kategori baru atas pendapatan luar negeri di tingkat pemegang saham dengan tingkat kepemilikan di atas 10%.
Penghitungan GILTI secara umum ditentukan dengan menghitung pengembalian pajak atas aset berwujud Controlled Foreign Corporation (CFC). CFC merupakan terminologi anak perusahaan yang didirikan di negara asing (foreign subsidiary) yang dapat dikendalikan oleh pemegang sahamnya.
Konseptor Tax Cuts and Jobs Acts (TCJA) mengharapkan GILTI dapat menyederhanakan regulasi terkait CFC. Penerapan GILTI ini menghapus perlunya analisis dan diversifikasi atas jenis-jenis pendapatan CFC. Sebagai gantinya, GILTI memasukkan seluruh pendapatan luar negeri dalam cakupannya.
Mindy Herzfeld, Direktur program hukum pajak internasional dari di University of Florida Levin College of Law, dalamTax Notes International Vol. 93 No. 2 menyatakan kerumitan penerapan GILTI sebenarnya lebih dikarenakan sistem pajak internasional Amerika Serikat (AS) sebelum diterapkannya TCJA. Menurutnya, ada beberapa opsi untuk merancang rezim GILTI yang tidak rumit.
“Apabila rezim pajak minimum harus menjadi bagian dari proposal OECD untuk mengatasi permasalahan perpajakan ekonomi digital, konsepnya haruslah tidak lebih rumit dari rezim GILTI,” jelasnya, seperti dikutip pada Kamis (24/1/2019).
Penyederhanaan sistem perancangan, menurutnya, akan menjadi tantangan tersendiri. Jika rezim pajak minimum ditiru untuk ekonomi digital, ada beberapa ketentuan di dalam GILTI yang perlu dipertimbangkan untuk dihapus karena dinilai memberatkan.
Pertama, ketentuan Qualified Business Asset Investment (QBAI). QBAI merupakan pembebasan pajak atas penggunaan aset berwujud tertentu. Penghitungan besaran GILTI menjadi rumit karena ada pengembalian pajak atas QBAI. Apalagi, nilainya tergolong kecil dibandingkan pendapatan CFC.
“Regulasi QBAI sendiri sudah mendapat banyak tantangan di AS karena mendorong wajib pajak untuk memindahkan asetnya ke luar negeri,” imbuh Mindy.
Kedua, ketentuan netting atas keuntungan dan kerugian. Ketentuan ini dapat digunakan untuk menentukan pihak mana dalam perusahaan multinasional yang pada akhirnya memiliki utang. Sistem pajak AS sendiri memperbolehkan sistem ini untuk menghitung kewajiban perpajakan dari wajib pajak di tahun bersangkutan.
Apabila ketentuan ini diperkenankan, sambungnya, terdapat kekhawatiran adanya perlakuan perusahaan multinasional sebagai satu kesatuan. Selain itu, apabila sistem ini dihapuskan maka perhitungan pajak minimum atas laba dari perolehan luar negeri akan menjadi lebih mudah.
Ketiga, ketentuan penghitungan pendapatan kena pajak sebelumnya dari anak perusahaan yang berlokasi di luar negeri. Sistem ini dikenal sebagai previously taxed income (PTI) dan dinilai dapat meningkatkan biaya kepatuhan wajib pajak.
PTI dapat dikatakan menjadi tidak relevan karena hanya dilatarbelakangi oleh fluktuasi nilai mata uang. Terlebih, secara teori, kalkulasi keuntungan maupun kerugian perusahaan yang berasosiasi dengan pergerakan mata uang masih menjadi perdebatan, terutama dalam perspektif otoritas pajak.
Keempat, ketentuan alokasi pengurang pajak. Berdasarkan konsep GILTI, pajak pendapatan asing CFC dikenakan dengan tarif yang lebih rendah dibandingkan pendapatan domestik mereka. Tarif yang lebih rendah tersebut secara efektif diberikan melalui pengurangan pajak di tingkat pemegang saham.
Beberapa pihak sebenarnya sudah menyadari bahwa pemberian keringanan pajak ini menciptakan kebingungan. Hal ini disebabkan oleh interaksinya dengan ketentuan lain, seperti misalnya adanya batasan baru atas biaya bunga serta pengurang pajak dikarenakan adanya kerugian operasional.
Kelima, ketentuan ‘keranjang’ kredit pajak luar negeri (Foreign Tax Credit/ FTC). AS sendiri telah lama menggunakan konsep keranjang FTC yang terpisah untuk mencegah pemberian kredit silang dari pajak yang diperoleh dari pendapatan pasif yang sangat mobile terhadap pendapatan dari aktivitas bisnis yang beroperasi secara riil.
Untuk meminimalkan insentif negara lain untuk menaikkan tarif pajak luar negeri – dikarenakan adanya tarif GILTI yang lebih rendah dibandingkan tarif domestik –, TCJA membatasi kredit pajak luar negeri GILTI hingga mencapai 80% dari pajak luar negeri yang dibayarkan. Namun, tidak banyak negara menggunakan keranjang FTC yang terpisah.
Lebih lanjut, ketentuan yang layak dipertimbangkan seharusnya lebih mengena pada aspek bagaimana menangani pendapatan pasif yang sangat mudah berpindah dengan mudah ke yurisdiksi dengan tarif pajak yang lebih rendah. (kaw)