Ilustrasi. (foto: bannerview)
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah mengaku akan berhati-hati dalam meluncurkan kebijakan pajak untuk kelompok perdagangan elektronik atau e-commerce. Dinamisnya model bisnis digital menjadi salah satu pertimbangan pemerintah.
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Rofyanto Kurniawan hingga saat ini belum ada rencana konkret terkait dengan aspek perpajakan untuk e-commerce. Pemerintah lebih berhati-hati dalam memajaki e-commerce karena perubahan model bisnis berlangsung cepat.
“Saat ini kita belum masuk ke bagaimana memajakinya [khusus untuk e-commerce],” katanya dalam sebuah diskusi terkait ekonomi digital, Kamis (25/10/2018).
Oleh karena itu, perlakuan pajak atas segmen bisnis ini akan sama dengan model bisnis konvensional. Artinya, pelaku usaha tetap diminta secara sukarela melaporkan laba yang diperolehnya atas suatu kegiatan usaha (self assessment).
Rofyanto menjelaskan proses pemajakan atas e-commerce tetap berjalan. Salah satu upaya yang dilakukan saat ini adalah bersinergi dengan pemilik marketplace untuk berbagi data transaksi. Dengan sinergitas itu, otoritas mempunyai basis data yang lengkap untuk mengecek kepatuhan.
“Kita memang bisa mengharapkan data transaksi e-commerce untuk melakukan monitoring kepatuhannya. Misalnya, di marketplace kan ada transaksinya. Jadi, menyampaikan laporan transaksinya saja,” paparnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan masih ada beberapa perusahaan digital yang belum setuju untuk memberikan data. Namun, BPS terus bekerja sama dengan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) untuk mendorong pengumpulan data tersebut.
Rata-rata pelaku e-commerce yang enggan memberikan datanya khawatir adanya pengenaan pajak lebih tinggi. Hingga akhir Agustus 2018, BPS baru mengantongi data dari 16 perusahaan e-commerce besar. (kaw)