Ilustrasi gedung BI.
JAKARTA, DDTCNews – Alih-alih menyempit, defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal IV/2018 justru kembali melebar. Akibatnya, defisit total sepanjang tahun lalu hampir menyentuh 3% terhadap produk domestik bruto.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Statistik Bank Indonesia (BI) Yati Kurniati memaparkan defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada kuartal IV/2018 senilai US$9,1 miliar. Nilai defisit itu setara dengan 3,57% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Padahal pada kuartal III/2018, CAD tercatat senilai USD8,6 miliar (angka update BI) atau sekitar 3,28% PDB. Dengan performa tersebut, CAD Indonesia pada tahun lalu tercatat senilai US$31,06 miliar atau 2,98% terhadap PDB. Pada 2017, CAD berada di level 1,6% PDB.
“Itu masih dalam batas aman,” katanya dalam konferensi pers di Kantor BI, Jumat (8/2/2019).
Data defisit transaksi berjalan di 2018 menurut Yati memang tertekan jika dibandingkan dua tahun sebelumnya. Tercatat, CAD pada 2016 dan 2017 tidak sedalam tahun lalu, masing-masing sebesar US$16,1 miliar dan US$16,9 miliar.
Lesunya ekspor nonmigas dan melonjaknya impor – baik migas maupun nonmigas – menjadi faktor utama semakin melebarnya CAD. Sepanjang 2018, kinerja ekspor dan impor (neraca barang) tidak begitu signifikan, sehingga mencatatkan defisit senilai US$431 juta.
Hal ini berbanding terbalik dari capai 2017 yang mampu mancatat surplus hingga US$18,8 miliar. Pada 2016, aktivitas ekspor—impor mencatatkan surplus US$15,3 miliar.
Sementara itu, dari sisi neraca jasa, Indonesia menorehkan defisit US$7,1 miliar pada 2018. Angka ini relatif tidak jauh berbeda dengan posisi 2016 yang mencatatkan defisit US$7,1 miliar dan pada 2017 yang juga menorehkan defisit US$7,4 miliar.
Di sisi lain, defisit yang terbesar masih berada pada neraca pendapatan primer. Pada 2018, neraca pendapatan primer tercatat defisit US$30,4 miliar. Angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan defisit pada 2017 senilai US$32,1 miliar, tapi lebih tinggi dibandingkan pada 2016 senilai US$29,6 miliar.
Selanjutnya, neraca pendapatan sekunder tercatat masih surplus senilai US$6,9 miliar. Capaian ini lebih tinggi dibandingkan dengan posisi 2016 dan 2017 yang masing-masing mencatatkan surplus US$4,4 miliar dan US$4,5 miliar. (kaw)