Founder DDTC Darussalam dalam focus group discussion (FGD) bertajuk Pajak dan HAM: Mencari Keseimbangan antara Diskresi dan Kepastian Hukum yang Lebih Baik di Indonesia yang diselenggarakan oleh Komwasjak, Selasa (10/9/2024).
JAKARTA, DDTCNews - Pajak seharusnya dikenakan oleh otoritas pajak berdasarkan undang-undang yang telah disepakati oleh pemerintah bersama DPR, bukan berdasarkan pada diskresi.
Founder DDTC Darussalam mengatakan undang-undang adalah kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR selaku wakil wajib pajak. Pengenaan pajak berdasarkan undang-undang diperlukan untuk menciptakan kepastian hukum.
"Kesepakatan bersama itu adalah kepastian, jangan ada yang di luar kesepakatan bersama, jangan kami dikenai pajak berdasarkan diskresi. Pajak adalah kesepakatan bersama antara pemerintah yang mewakili negara dan DPR yang mewakili wajib pajak. Jadi sesederhana itu menurut kami [wajib pajak]," ungkap Darussalam dalam focus group discussion (FGD) bertajuk Pajak dan HAM: Mencari Keseimbangan antara Diskresi dan Kepastian Hukum yang Lebih Baik di Indonesia yang diselenggarakan oleh Komwasjak, Selasa (10/9/2024).
Sayangnya, Darussalam menilai konstitusi di Indonesia masih belum memberikan perlindungan secara optimal terhadap hak-hak wajib pajak. Pasalnya, UUD 1945 hanya mengatur tentang kewenangan pemerintah untuk mengenakan pajak tanpa memuat prinsip pengenaan pajak dari sudut pandang wajib pajak.
Padahal di negara-negara lain, imbuh Darussalam, hak wajib pajak untuk tidak dikenai pajak secara berlebihan justru diatur dengan tegas dalam konstitusi.
"Misal Spanyol, setiap orang harus berkontribusi terhadap pembayaran belanja publik, tetapi sesuai dengan kemampuan ekonomisnya melalui sistem pajak yang adil, tidak boleh bersifat berlebihan. Jadi ada 2 sudut pandang," ujarnya.
Pada level undang-undang, Darussalam mengatakan, peraturan perundang-undangan perpajakan seharusnya tidak membuka ruang bagi otoritas pajak untuk menerapkan diskresi. Mengutip Lasse Lehis, Darussalam mengatakan ketentuan terkait dasar pengenaan pajak dan tarif pajak seharusnya tidak diatur oleh eksekutif sendiri.
"Taxable income dan tax rate itu tidak boleh didelegasikan ke eksekutif, karena yang namanya pajak adalah terdiri dari taxable income dan rate. Sehingga, kita perlu sepakati di DPR dan tidak boleh ada lagi aturan-aturan turunan yang memungkinkan pemerintah untuk menentukan taxable income dan rate," ujar Darussalam.
Guna menciptakan kepastian kepada wajib pajak, Darussalam mengatakan regulasi pajak harus mengatur dengan jelas siapa yang dikenai pajak, apa yang menjadi dasar pengenaan pajak, berapa yang harus dibayar, dan bagaimana cara mengenakan pajaknya.
"Kalau kita sepakat certainty dalam perpajakan, harus pasti. Tidak ada diskresi. Ada 4 prinsip kepastian yang itu tidak boleh pakai diskresi. Pemerintah sudah diberi kewenangan untuk mengenakan pajak, tolong kami diberi kepastian," ujar Darussalam.
Darussalam mengatakan bila kepastian pajak tidak tercapai, sengketa antara otoritas pajak dan wajib pajak berpotensi meningkat. Bila sengketa pajak terus terjadi, terdapat 2 konsekuensi yang timbul yakni tergerusnya kepercayaan terhadap sistem pajak dan meningkatnya biaya kepatuhan (cost of compliance).
Tingginya cost of compliance timbul akibat banyaknya waktu, tenaga, dan biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak dan otoritas pajak untuk bersengketa di Pengadilan Pajak. (sap)