JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah terus mengevaluasi berbagai skema insentif pajak yang berlaku untuk mengantisipasi penerapan pajak minimum global. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Jumat (4/10/2024).
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan pemerintah saat ini masih mengkaji berbagai opsi insentif yang sejalan dengan ketentuan Pilar 2 agar dapat diterapkan di Indonesia.
"Kami masih dalam proses evaluasi dan diskusi dengan mitra otoritas pajak kami, juga dengan para pemangku kepentingan," katanya dalam dalam International Tax Conference 2024.
Dalam beberapa dekade terakhir ini, lanjut Yon, dunia sedang dihadapkan pada tantangan berupa persaingan penggunaan tarif pajak yang lebih rendah untuk menarik investasi. Sejak 1980, tarif pajak perusahaan rata-rata global telah turun dari 40,18% menjadi 28,45% pada 2023.
Tarif pajak yang lebih rendah ini memang dapat menarik investasi, tetapi di sisi lain juga mengurangi penerimaan negara yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur, pemberian bantuan sosial, dan pelayanan kesehatan, terutama pada negara berkembang.
Dalam menghadapi persoalan tersebut, negara-negara anggota OECD/G-20 Inclusive Framework on BEPS pun bekerja sama untuk memberikan solusi melalui Solusi 2 Pilar.
Melalui Pilar 2, negara Inclusive Framework berupaya mengatasi fenomena race to the bottom dengan pajak minimum global sebesar 15% untuk menyamakan kedudukan dan mencegah pengalihan laba ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah.
Pajak minimum global akan berlaku terhadap perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta per tahun.
Dalam hal tarif efektif yang ditanggung perusahaan multinasional pada suatu yurisdiksi tidak mencapai 15%, yurisdiksi tempat ultimate parent entity (UPE) berlokasi berhak mengenakan top-up tax atas laba yang kurang dipajaki. Top-up tax dikenakan berdasarkan income inclusion rule (IIR).
Namun, yurisdiksi sumber juga berhak untuk terlebih dahulu mengenakan top-up tax dalam hal yurisdiksi tersebut mengadopsi qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT).
Apabila yurisdiksi sumber mengenakan top-up tax berdasarkan QDMTT, yurisdiksi UPE kehilangan hak untuk mengenakan top-up tax melalui IIR.
Selain insentif pajak, ada pula ulasan mengenai wacana pembentukan badan penerimaan negara. Lalu, ada juga ulasan mengenai implementasi Pilar 1 Amount A, keuntungan Pilar 1 Amount B, revisi asumsi makro 2025, dan lain sebagainya.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menuturkan pemerintah saat ini juga sedang mempersiapkan peraturan yang dibutuhkan untuk melaksanakan Pilar 2.
Rencananya, pemerintahn merampungkan RPMK untuk penerapan subject to tax rule (STTR) pada tahun ini. Tahun depan, ketentuan QDMTT dan IIR juga bakal diterapkan. Adapun untuk penerapan undertaxed profit rule (UTPR), direncanakan pada 2026.
"Kami sekarang sedang membahas tentang rezim insentif pajak untuk Indonesia karena banyak sekali pertanyaan dari para pemangku kepentingan bagaimana dengan insentif pajak ke depannya terkait penerapan Pilar 2?" ujarnya. (DDTCNews)
Wakil Komandan Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (TKN Fanta) Prabowo-Gibran Anggawira mengatakan pemerintahan baru saat ini sedang dalam tahap perencanaan dan kajian terkait dengan pembentukan badan penerimaan negara (BPN) tersebut.
“Kemungkinan besar implementasi penuh BPN tidak akan langsung berjalan pada tahun pertama,” katanya.
Untuk tahap awal, lanjut Anggawira, pemerintahan baru akan menyiapkan regulasi, penataan kelembagaan, serta integrasi antara sistem perpajakan dan kepabeanan untuk memastikan efektivitas operasional BPN nantinya. (Kontan)
Meski tidak bersifat wajib, penerapan Pilar 1 Amount B dipandang dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia.
Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan penerapan Pilar 1 Amount B dapat membawa keuntungan bagi Indonesia, terutama dalam penyederhanaan ketentuan yang berkaitan dengan transfer pricing.
"Mengenai penerapannya, Indonesia memiliki 2 pilihan yaitu pemerintah membolehkan wajib pajak memilih menerapkan simplified and streamlined approach sehingga elektif, atau menggunakan Amount B secara preskriptif," katanya. (DDTCNews)
BPN perlu dibentuk dengan turut menekankan pada jaminan terhadap perlindungan hak-hak wajib pajak, bukan semata-mata optimalisasi penerimaan negara.
Founder DDTC Darussalam mengatakan selama ini perbincangan publik terkait pembentukan BPN hanya berfokus pada peningkatan tax ratio.
"Yang selalu kita dengar adalah dari sudut pandangan pemerintah dan kita lupa stakeholder yang lain adalah sudut pandang wajib pajak. Bagaimana dengan posisi wajib pajak?," tuturnya. (DDTCNews)
Ditjen Pajak (DJP) mengungkapkan implementasi Amount A Pilar 1: Unified Approach sangatlah ditentukan oleh komitmen dari negara-negara besar, utamanya Amerika Serikat (AS) dan China.
Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama mengatakan Amount A Pilar 1 baru akan berlaku bila multilateral convention (MLC) sudah diratifikasi oleh 30 negara anggota Inclusive Framework yang merepresentasikan 60% dari grup perusahaan multinasional tercakup.
Sebagian besar grup perusahaan multinasional yang tercakup dalam Pilar 1 bermarkas di AS dan China. "Bila negara-negara besar seperti AS dan China tidak meratifikasi MLC, implementasi Amount A Pilar 1 akan tertunda," kata Mekar. (DDTCNews)
Presiden terpilih Prabowo Subianto membuka peluang untuk mengubah anggaran tahun pertamanya melalui skema APBN-P 2025. Ini dilakukan untuk mengantisipasi fluktuasi harga minyak yang berpotensi meningkat.
Wakil Komandan TKN Fanta Prabowo-Gibran Anggawira menyebut pemerintahan baru kemungkinan akan merevisi asumsi harga minyak dalam APBN 2025 melalui APBN-P dengan proyeksi lebih realistis.
“Ini penting untuk menjaga akurasi perhitungan belanja negara, terutama terkait dengan subsidi energi,” ujarnya. (Kontan)