Founder DDTC Darussalam dalam regular tax discussion (RTD) bertajuk Arah Kebijakan Perpajakan di Era Pemerintahan Kabinet Merah Putih yang digelar oleh KAPj IAI, Selasa (12/11/2024).
JAKARTA, DDTCNews - Reformasi pajak masih diperlukan dalam rangka menyelesaikan persoalan fundamental dalam sistem pajak Indonesia.
Founder DDTC Darussalam mengatakan persoalan fundamental dalam sistem pajak Indonesia tecermin pada tax ratio Indonesia yang masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata 36 negara Asia, serta tax buoyancy yang konsisten di bawah 1 dari tahun ke tahun.
"Indonesia memiliki tax ratio yang relatif rendah, bahkan lebih rendah dari rata-rata 36 negara Asia. Ini yang seharusnya menjadi persoalan kita bersama. Kalau dibandingkan dengan negara OECD, makin jauh ketertinggalan kita," ujar Darussalam dalam regular tax discussion (RTD) bertajuk Arah Kebijakan Perpajakan di Era Pemerintahan Kabinet Merah Putih yang digelar oleh KAPj IAI, Selasa (12/11/2024).
Sejak 2010, tax ratio Indonesia tercatat hanya berkutat di 9% hingga 12% meski penerimaan pajak terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Pada 2023, tax ratio Indonesia tercatat hanya sebesar 10,31%, di bawah standar ideal yang ditetapkan IMF minimal sebesar 15%.
Terkait dengan tax buoyancy, Darussalam mengatakan rata-rata tax buoyancy Indonesia dari 2010 hingga 2019 hanya sebesar 0,88, kurang dari 1. "Artinya apa? Kita tidak mampu mengambil bagian dari kenaikan PDB untuk meningkatkan penerimaan pajak. Dari 1 kenaikan [PDB], kita hanya bisa ambil 0,88," ujar Darussalam.
Untuk meningkatkan tax ratio dan tax buoyancy, Darussalam mengatakan pemerintah perlu melakukan redesain pada 4 aspek. Pertama, pemerintah perlu meredesain struktur penerimaan pajak.
Bila penerimaan pajak diamati secara sektoral berdasarkan klasifikasi lapangan usaha, sesungguhnya masih terdapat beberapa sektor perekonomian yang masih kurang dipajaki.
Sektor dimaksud salah satunya adalah sektor pertanian. Saat ini, sektor pertanian memiliki kontribusi 13,02% terhadap PDB, tetapi kontribusinya terhadap penerimaan pajak tidak mencapai 3%.
Untuk meningkatkan tax ratio, struktur penerimaan pajak perlu diperbaiki dengan cara mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor-sektor yang masih cenderung undertaxed.
Lebih lanjut, saat ini penerimaan pajak Indonesia masih banyak disokong oleh PPh badan. Kontribusi wajib pajak orang pribadi terhadap PPh masih cenderung minim. Agar tax ratio Indonesia bisa naik, kontribusi wajib pajak orang pribadi perlu ditingkatkan.
"Kalau kita masih mengandalkan PPh badan, sementara yang selalu kita anut ketika melakukan komparasi adalah negara-negara OECD, ya tentu kita harus sepakat bahwa PPh orang pribadi harus menjadi ujung tombak," ujar Darussalam.
Kedua, pemerintah perlu meredesain pendekatan pemajakan dari enforced compliance menuju cooperative compliance. Menurut Darussalam, banyak negara sudah meninggalkan upaya peningkatan kepatuhan pajak melalui enforcement.
Guna menciptakan cooperative compliance, pemerintah perlu menyederhanakan sistem perpajakan dan meningkatkan partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan pajak.
"Simplifikasi akan menurunkan compliance cost, partisipasi akan menekan dispute yang harus dibawa ke Pengadilan Pajak dan MA. Dengan demikian, kedua hal ini harus dilakukan ke depan, simplifikasi dan menyertakan partisipasi publik untuk memberikan suara dalam kebijakan pajak, khususnya yang di PP, PMK, dan perdirjen," ujar Darussalam.
Ketiga, pemerintah perlu meredesain regulasi pajak agar sesuai dengan konsepsi yang sesungguhnya. Contoh, pemerintah perlu mengembalikan netralitas PPN dengan mengurangi beragam fasilitas pengecualian dan pembebasan yang berlaku saat ini.
"Bagaimana agar penerimaan PPN kita meningkat? Saya bilang, jagalah netralitas PPN. Salah satu netralitas PPN adalah sedikit pengecualian. Awalnya semangat dari teman-teman DJP adalah memperkecil pengecualian PPN. Namun, ketika ini diusung, politiknya adalah kalau kebutuhan pokok tidak dikecualikan, ini akan jadi ramai," ujar Darussalam.
Menurut Darussalam, PPN seharusnya bisa tetap dikenakan terhadap kebutuhan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat kecil sepanjang kebijakan tersebut dilengkapi dengan earmarking belanja. Lewat earmarking, PPN atas kebutuhan pokok akan langsung dikembalikan ke masyarakat melalui belanja pemerintah.
Keempat, pemerintah perlu meredesain kelembagaan otoritas pajak. Menurut Darussalam, otoritas pajak memerlukan fleksibilitas dalam aspek penganggaran dan rekrutmen SDM.
Di banyak negara, otoritas pajak berhak untuk menggunakan anggaran sebesar persentase tertentu dari pajak yang sudah dikumpulkan otoritas. "Dari sisi SDM, perlu ada fleksibilitas untuk memanggil orang-orang terbaik di Indonesia untuk bisa bergabung ke lembaga pajak ini dengan remunerasi yang tidak kalah dengan yang ada di luar," ujar Darussalam.
Sejalan dengan hal tersebut, pentingnya isu perpajakan di era pemerintahan Prabowo juga turut menjadi perhatian DDTC. Baru-baru ini, DDTC menerbitkan 4 buku terbaru yang dapat menjadi panduan bagi publik untuk belajar perpajakan dan memahami arah kebijakan ke depan.
Untuk Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran, buku ini relevan diletakkan dalam konteks Kabinet Merah Putih. Terlebih, gagasan penulis menyentuh agenda perpajakan yang telah diusung Prabowo-Gibran dalam 8 Program Hasil Terbaik Cepat, 17 Program Prioritas, ataupun Asta Cita.
Buku tersebut juga merupakan hasil kolaborasi ahli dan profesi, mulai dari praktisi pajak, akademisi, aparatur sipil negara (ASN), konsultan pajak, wiraswasta, jurnalis, karyawan swasta, hingga mahasiswa. Artinya, gagasan-gagasan kaya perspektif, baik dari sisi otoritas maupun wajib pajak sekarang dan masa depan.
Sebagai tambahan informasi, hingga saat ini, DDTC telah menerbitkan 27 buku. Rencananya, sampai dengan akhir 2024, DDTC akan melengkapinya menjadi 30 buku. Simak Susun dan Tinjau Kebijakan Pajak Kabinet Merah Putih, Baca 4 Buku DDTC. (sap)