Halaman depan IHPS I/2020. (foto: hasil tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah kelemahan dalam pengelolaan kepesertaan, pendapatan iuran, dan beban jaminan kesehatan dana jaminan sosial oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Kelemahan tersebut ditemukan setelah BPK menyelenggarakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas BPJS Kesehatan dan instansi lainnya di DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.
"Hasil pemeriksaan menyimpulkan pengelolaan kepesertaan, pendapatan iuran, dan beban jaminan kesehatan dana jaminan sosial telah sesuai kriteria dengan pengecualian," tulis BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2020, dikutip Selasa (10/11/2020).
Secara lebih terperinci, terdapat lima kelemahan pengendalian intern pada BPJS Kesehatan yang ditemukan BPK. Pertama, pemutakhiran dan validasi data kepesertaan yang dilakukan selama ini masih belum optimal.
BPK menemukan adanya nomor induk kependudukan (NIK) tidak valid, BIK ganda, serta daftar upah pegawai pemerintah nonpegawai negeri (PPNPN) dan pekerja penerima upah (PPU) yang belum dimutakhirkan.
"Hal ini membuat pembayaran kapitasi berdasarkan jumlah peserta yang tidak valid dan berpotensi membebani keuangan dana jaminan sosial BPJS Kesehatan, serta pembayaran iuran PPNPN dan PPU berpotensi tidak sesuai dengan penghasilan yang sebenarnya," tulis BPK.
Kedua, BPK mencatat kolektibilitas iuran peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) cenderung menurun. Sebaliknya, penyisihan piutang iuran tidak tertagih dari peserta PBPU dan peserta pekerja penerima upah dari badan usaha (PPUBU) mengalami peningkatan.
Hal ini mengakibatkan defisit dana jaminan sosial kesehatan untuk membiayai program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan terus bertambah.
Ketiga, penganggaran iuran peserta PPU melalui mekanisme daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) dan dana perhitungan pihak ketiga belum didukung oleh data kepesertaan dan iuran yang memadai.
Akibatnya, BPJS Kesehatan tidak memperoleh informasi riil mengenai penghasilan PUU yang menjadi landasan besaran iuran yang seharusnya. Potensi tambahan pendapatan iuran sebesar Rp733 miliar pada 2019 juga hilang akibat masalah ini.
Keempat, pengelolaan beban layanan kesehatan belum mampu mencegah terjadinya pembayaran beban layanan kesehatan yang tidak tepat.
Masalah tersebut mengakibatkan sistem yang dikembangkan tidak bisa mencegah terjadinya potensi penyalahgunaan kartu BPJS untuk penerbitan surat eligibilitas peserta yang tidak menggunakan fingerprint oleh pasien yang tidak berhak.
Kelima, verifikasi klaim pelayanan kesehatan juga belum didukung dengan sistem pelayanan yang terintegrasi. Hal ini menyebabkan timbulnya beban tambahan sebesar Rp52,33 miliar dan potensi penyimpangan atas pembayaran klaim yang diberikan kepada peserta yang pernah berstatus nonaktif dan dinyatakan meninggal dunia. (rig)