
KONSUMSI energi global terus-terusan menanjak. Energy Institute mencatat konsumsi energi secara global naik 2,2% pada 2023. Pertumbuhan angka konsumsi itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan tren historis pada 2010 hingga 2019, dengan rata-rata pertumbuhan 1,5% per tahun.
Dari energi yang dikonsumsi masyarakat dunia, sumbernya berasal dari 2 jenis: energi terbarukan (renewable) dan energi tidak terbarukan (non-renewable). Untuk saat ini, meskipun transisi ke energi terbarukan sudah berlangsung, 80 persen konsumsinya masih bersumber dari non-renewable energy.
Nah, sumber non-renewable energy yang masih menjadi tumpuan pembangkit listrik di Tanah Air adalah batu bara. US Energy Information Administration (EIA) mencatat pada 2022, Indonesia menjadi negara ketujuh di dunia dengan cadangan batu bara terbesar. Tidak heran, praktik pertambangan batu bara jamak dilakukan di negeri ini.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat hingga 2024, total luas wilayah yang telah diberikan izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 9,1 juta hektare. Sebanyak 909 IUP telah diterbitkan pemerintah, dengan perinciam 12 izin eksplorasi dan 897 izin operasi produksi.
Masifnya operasi pertambangan batu bara di Indonesia membuat komoditas ini menyumbang 3,6% porsi PDB pada 2023. Sebagai pembanding, secara umum, sektor pertambangan menyumbang 10,5% PDB nasional.
Besarnya penerimaan negara yang diterima dari sektor pertambangan berasal dari sejumlah pungutan resmi yang dilakukan pemerintah.
Pungutan-pungutan itu, antara lain pajak penghasilan (PPh) badan, PPh lainnya (Pasal 21, 23, 25, dan 26), pajak pertambangan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB) sektor pertambangan, iuran produksi (royalti), iuran tetap (landrent), dana reklamasi dan pascatambang, dana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (CSR), serta pajak dan retribusi daerah.
Dalam memungut PPh, PPN, PBB, dan royalti; penentuan dasar pengenaan pajak (DPP) bermacam-macam. Pertama, harga penjualan batu bara digunakan untuk menentukan PPh, PPN, dan royalti (penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Kedua, biaya digunakan untuk menentukan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 ayat (2). Ketiga, aspek produksi digunakan untuk menentukan besaran PBB terutang.
Sederet pungutan tersebut dirasa terlampau kompleks bagi pelaku usaha pertambangan. Bayangkan, di setiap proses usaha pertambangan terdapat kewajiban perpajakan dan nonperpajakan yang perlu ditunaikan pelaku usaha.
Karenanya, guna memberikan kepastian hukum dan meningkatkan investasi, penulis memandang perlu adanya penyederhanaan ketentuan perpajakan dan non-pajak (PNBP) di sektor pertambangan batu bara. Dengan begitu, diharapkan penerimaan negara bisa ikut meningkat.
Sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, pemanfaatan kekayaan alam di Indonesia harus memberikan keadilan serta kepastian hukum bagi wajib pajak.
Dengan mengacu pada 3 aspek perhitungan DPP, yakni harga, biaya, dan aspek produksi, ada satu alternatif penyederhanaan pungutan di sektor batu bara. Penulis mengajukan rekomendasi bagi pemerintah untuk bisa menghapuskan iuran royalti yang dasar pungutannya mengacu ke harga jual.
Mengapa royalti dihapuskan?
Pada dasarnya, aspek penjualan dan penghasilan di sektor batu bara sudah dikenakan PPN dan PPh. Belum lagi, sesuai dengan PP 18/2025, perhitungan penghasilan menggunakan harga tertinggi antara harga jual dan harga patokan batu bara (HPB). Nilai itu pun sebenarnya sudah digunakan untuk menentukan NJOP pertambangan tubuh bumi mineral dan batu bara, sesuai dengan PMK 232/2022.
Karenanya, penghapusan royalti sebenarnya tidak serta merta akan menurunkan penerimaan negara. Penghapusan royalti bisa dikompensasikan dengan menaikkan angka kapitalisasi PBB pertambangan tubuh bumi mineral batu bara.
Selain itu, potensi penerimaan negara bisa bisa digali dengan menghilangkan biaya produksi yang menjadi pengurang penghasilan kotor sebagai dasar penentuan NJOP PBB tubuh bumi batu bara. Realitasnya, di lapangan banyak muncul dispute antara wajib pajak dan fiskus dalam menentukan biaya produksi.
Penulis berkesimpulan, kepastian hukum akan lebih terwujud apabila perhitungan NJOP PBB tubuh bumi batu bara hanya menggunakan satu variabel, yakni hasil produksi. Besaran hasil produksi ditentukan denga harga tertinggi antara harga jual dan HPB tanpa mengurangi biaya produksi. Ingat, pada dasarnya biaya sudah diakui di PPh badan.
Dengan penyederhanaan aturan tersebut, diharapkan bisa terwujud kepastian hukum bagi pelaku usaha pertambangan tanpa mengorbankan potensi penerimaan negara. (sap)
