LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Saatnya Dekati Gen Z untuk Inovasi Kebijakan Pajak yang Berkelanjutan

Redaksi DDTCNews
Rabu, 17 September 2025 | 10.00 WIB
Saatnya Dekati Gen Z untuk Inovasi Kebijakan Pajak yang Berkelanjutan
Lola Amanda Ampulembang,
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur

ENERGI merupakan salah satu sektor pendorong roda perekonomian Indonesia. Namun, sektor ini bisa juga menjadi bumerang. Mengapa?

Menurut International Energy Agency (2002), Indonesia tercatat sebagai produsen karbon terbesar ke-7 di dunia, setelah Iran dan Jepang. Indonesia memang dihadapkan dilema: menggenjot perekonomian dengan eksploitasi sumber energi secara besar-besaran atau mengeremnya demi mengurangi emisi karbon?

Pemerintah sendiri telah menetapkan target Net Zero Emission 2060 (Limanseto, 2022). Pertanyaannya, apakah target ini dapat dicapai hanya dengan kebijakan as usual atau diperlukan instrumen lain yang baru?

Green fiscal policy dapat menjadi alat bagi pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih ramah lingkungan, tanpa menghambat pembangunan nasional.

Beberapa negara telah lebih dahulu menerapkan pajak karbon. Misalnya, Swiss yang memungut pajak karbon atas semua bahan bakar fosilnya, kecuali yang dipakai untuk produksi energi lain. Selain itu, negara Eropa lain seperti Finlandia, Swedia, Polandia, dan Kanada juga menerapkan kebijakan yang serupa.

Negara di kawasan Asia, seperti Singapura dan Jepang juga fokus pada pengenaan pajak karbon untuk mengurangi emisi karbon.

Di Indonesia, pemerintah sebenarnya sudah punya landasan hukum untuk penerapan pajak karbon, yakni melalui UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sejumlah insentif pajak juga diberikan untuk mendukung pemanfaatan energi bersih. Misalnya, adanya insentif PPN ditanggung pemerintah untuk transaksi mobil listrik.

Sayangnya, implementasi pajak karbon sendiri terus tertunda sampai saat ini. Pemberian PPN DTP atas mobil listrik juga dinilai sebagai kebijakan yang setengah-setengah, lantaran fasilitas pengisian daya bagi mobil listrik yang belum merata di Indonesia.

Kondisi tersebut menegaskan bahwa kebijakan fiskal yang dijalankan pemerintah untuk mendukung pengurangan emisi karbon belum efektif. Diperlukan peran aktif seluruh elemen masyarakat untuk turut serta menekan produksi emisi karbon, terutama generasi muda atau yang populer disebut Gen Z.

Kenapa tiba-tiba penulis mengaitkannya dengan Gen Z? Penjabarannya sebagai berikut.

Dilibatkannya Gen Z

Gen Z lahir dan tumbuh bersama dengan perkembangan teknologi dan informasi yang pesat. Generasi ini cenderung lebih update dengan isu-isu terkini.

Dengan peluang bonus demografi yang di depan mata, pemerintah perlu menjadikan Gen Z sebagai tools penting untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi, melalui kebijakan fiskal.

Gen Z juga bisa menjadi pasar yang potensi bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi terhadap teknologi. Penulis menyodorkan 2 alternatif kebijakan yang bisa disusun pemerintah untuk menggandeng Gen Z.

Pertama, GreenTax App. Gen Z yang hidup berdampingan dengan teknologi memiliki potensi untuk mengembangkan aplikasi ramah lingkungan. GreenTax App merupakan platform edukasi kepada masyarakat yang menyediakan konten edukasi, informasi, berita, hingga tip seputar pengurangan emisi.

Selain itu, aplikasi ini dapat menghitung jejak karbon yang 'diproduksi' oleh setiap penggunanya dalam kehidupan sehari-hari. GreenTax App bisa menjadi alat untuk mengoptimalkan kebijakan pajak karbon.

Ada satu fitur menarik yang bisa disediakan lewat GreenTax App ini, yakni Green Points atau rewards yang bisa dikumpulkan oleh setiap penggunanya apabila menjalankan perilaku ramah lingkungan. Misalnya, menggunakan transportasi umum, membeli dan menggunakan kendaraan listrik, hingga perilaku untuk tidak menggunakan produk plastik.

Apa rewards-nya? Pemerintah bisa menyediakan e-voucher belanja untuk membeli produk ramah lingkungan dari UMKM.

Ide tersebut sebenarnya terinspirasi dari aplikasi dari Amerika Serikat bernama Oroeco. Aplikasi ini juga dapat melacak jejak karbon, memberikan edukasi, serta tip untuk setiap aksi ramah lingkungan.

Kedua, EcoVAT. Ketentuan pajak karbon di Indonesia masih berfokus pada proses produksi yang menghasilkan karbon. Padahal, daya konsumsi akan produk beremisi tinggi seperti fast fashion, makanan cepat saji, hingga transportasi berbahan bakar fosil masih dominan di kalangan masyarakat.

Bukan hanya Gen Z, seluruh generasi memiliki tingkat konsumsi yang masih tinggi terhadap hal-hal tersebut. Namun, Gen Z sebagai generasi yang cukup dominan di struktur populasi saat ini, mestinya punya peran yang lebih besar.

Pemerintah dapat memanfaatkan keberadaan Gen Z sebagai agen perubahan. EcoVAT adalah program untuk mengurangi tarif PPN pada produk rendah karbon. Mekanismenya, pemerintah mengklasifikasi dan memberi label produk yang terjual di pasaran dengan label rendah karbon, netral, dan tinggi karbon.

Produk rendah karbon akan dikenai tarif yang lebih rendah (misalnya 5%-7%), sementara produk netral dikenai tarif normal (11%). Kemudian, produk dengan jumlah karbon tinggi akan dikenai PPN yang lebih tinggi, misalnya 15%-20%.

Program tersebut memberi keuntungan ganda, baik dalam aspek perekonomian maupun lingkungan. Pada satu sisi, penerimaan pajak negara dapat bertambah. Di sisi lain, masyarakat terdorong untuk beralih pada produk rendah karbon.

Usulan memperluas objek pemajakan atas produksi karbon didasarkan pada pertimbangan bahwa pajak karbon dapat diklasifikasi sebagai pigouvian tax. Mengutip dari Tax Foundation (2019), pigouvian tax adalah pajak atas kegiatan ekonomi yang menciptakan eksternalitas negatif.

Nah, GreenTax App dapat berperan sebagai media implementasi EcoVAT. Artinya, kombinasi kebijakan tersebut membentuk satu kesatuan inovasi perpajakan berkelanjutan. Penerapan pajak untuk mengurangi emisi karbon masih harus dioptimalkan melalui green fiscal policy yang adaptif dan inovatif bagi masyarakat.

Penulis berharap, green fiscal policy bukan hanya kebijakan semata, melainkan investasi masa mendatang untuk mewujudkan ekonomi hijau berkelanjutan di Indonesia. (sap)

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.