Publikasi Lexology In-Depth: Transfer Pricing edisi ke-8 diterbitkan pada Juni 2024.
LAW Business Research, yang berbasis di London Britania Raya, kembali menerbitkan publikasi terkait dengan rezim transfer pricing di berbagai negara. Publikasi Lexology In-Depth: Transfer Pricing edisi ke-8 diterbitkan pada Juni 2024.
Sebagai gambaran, publikasi ini sebelumnya berjudul The Transfer Pricing Law Review. Law Business Research mengintegrasikan The Law Review ke dalam Lexology. Adapun Lexology merupakan platform intelijen hukum global.
Dalam edisi kali ini, ada pembahasan rezim transfer pricing 12 negara, termasuk Indonesia. Adapun pembahasan mengenai Indonesia kembali dipercayakan kepada 2 profesional DDTC. Kesempatan ini merupakan kali keenam DDTC dipercaya sebagai kontributor publikasi tersebut.
Kedua profesional DDTC itu adalah Senior Manager of DDTC Consulting Cindy Kikhonia Febby dan Veronica Kusumawardani. Mereka bergabung dengan kontributor dari 11 negara lainnya, yakni Brasil, Cyprus, Israel, Italia, Jepang, Luksemburg, Malta, Meksiko, Swiss, Britania Raya, dan Amerika Serikat.
Editor buku ini, Steve Edge dan Dominic Robertson, mengatakan Transfer Pricing Law Review dimaksudkan untuk memberi gambaran umum mengenai aturan utama transfer pricing. Setiap bab dalam buku ini memuat rangkuman aturan substansif transfer pricing negara.
Para kontributor juga menjelaskan penanganan sengketa transfer pricing mulai dari pemeriksaan awal hingga penyelesaian. Mereka juga membahas interaksi antara transfer pricing dan bagian lain dalam aturan pajak (seperti withholding tax, bea cukai, dan pencegahan pajak berganda).
Selain Brasil, semua negara yang tercakup dalam tinjauan sudah menerapkan arm’s-length standard dan mematuhi, setidaknya sampai batas tertentu, sesuai dengan OECD Transfer Pricing Guidelines. Negara ini sedang mempertimbangkan penyelarasan aturan transfer pricing dengan norma dari OECD.
Namun, masih ada perbedaan signifikan, baik dalam interpretasi negara terhadap arm’s-length standard (seperti metode penetapan harga yang lebih disukai) maupun dalam administrasi aturan (seperti persyaratan dokumentasi yang diberlakukan).
“Oleh karena itu, praktisi penetapan harga transfer tidak bisa begitu saja berasumsi bahwa OECD Transfer Pricing Guidelines berisi semua jawaban. Harus terlibat dengan penerapan perinciannya di setiap negara,” tulis Steve dan Dominic dalam pengantar buku ini.
Steve dan Dominic mengatakan adanya kepentingan ekonomi membuat aturan transfer pricing sebagai prioritas utama dalam agenda pajak perusahaan (lebih luas lagi menyangkut agenda politik) selama bertahun-tahun ke depan. Aturan akan terus berkembang pesat.
Mereka memproyeksi ada beberapa hal yang menjadi fokus utama dalam beberapa tahun ke depan. Pertama, sengketa transfer pricing terus berkembang. Pengetahuan yang baik tentang kasus-kasus di luar yurisdiksi merupakan alat yang berharga bagi advisor mana pun.
Kedua, tantangan pengembangan bukti faktual secara proporsional tetapi komprehensif. Ada potensi sulitnya untuk memastikan ketersediaan bukti yang akurat. Banyak hal yang bisa dipelajari dari negara-negara yang telah memiliki catatan panjang dalam litigasi transfer pricing.
Ketiga, penerapan peraturan Pilar 2 proyek OECD/G-20 untuk mengatasi dampak digitalisasi. Interaksi praktis antara pajak minimum global dan atauran transfer pricing masih perlu diselesaikan.
Dalam publikasi tersebut, Cindy Kikhonia Febby dan Veronica Kusumawardani mengawali pembahasan rezim transfer pricing di Indonesia dengan perkembangan peraturan yang sudah dirilis oleh pemerintah.
Mereka menyampaikan bahwa Indonesia telah secara aktif mengubah regulasi tentang transfer pricing agar sejalan dengan Rencana Aksi BEPS OECD. Langkah tersebut pada gilirannya membuat persyaratan transfer pricing documentation (TP Doc) lebih komprehensif.
Kedua profesional DDTC tersebut menekankan pentingnya bagi wajib pajak untuk mempertimbangkan TP Doc sebagai garis pertahanan pertama dalam pemeriksaan. TP Doc yang komprehensif dan kuat dapat membantu wajib pajak mengurangi sengketa dengan otoritas pajak.
“Perubahan besar yang diterapkan dalam pendekatan pemeriksaan pajak adalah fokus otoritas pada kebijakan penetapan harga antarperusahaan atau inter-company pricing policies, bukan hanya menguji prinsip kewajaran (arm’s length principle) setelah transaksi terjadi,” jelas mereka.
Indonesia diperkirakan akan terus memperbarui peraturan transfer pricing. Pembaruan terkini, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 172/2023, telah menggabungkan berbagai peraturan yang selama ini terpisah-pisah.
PMK 172/2023 mencakup beberapa aspek pengaturan, seperti definisi pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties), pedoman penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dokumentasi transfer pricing, implementasi MAP, dan APA.
Ada juga unsur-unsur baru dalam peraturan tersebut, seperti ketentuan secondary adjustments, prosedur untuk pembatalan secondary adjustments melalui repatriasi laba, serta implementasi corresponding adjustments.
Menurut mereka, perbaikan lebih lanjut perlu diantisipasi, khususnya terkait dengan corresponding adjustments untuk transaksi lokal. Dalam ketentuan saat ini, corresponding adjustments dapat dilakukan apabila wajib pajak menyetujui penentuan harga transfer oleh otoritas pajak dan tidak mengajukan upaya hukum lanjutan atas surat ketetapan pajak yang diterbitkan. Adapun corresponding adjustments ini harus dimulai oleh wajib pajak. Di sisi lain, kantor pajak hanya akan 'mempertimbangkan' corresponding adjustments tersebut.
Oleh karena itu, masih terdapat risiko corresponding adjustments tidak akan dipertimbangkan. Corresponding adjustments dengan transaksi lokal seharusnya dapat dilakukan secara otomatis karena berkaitan dengan alokasi basis pajak antarkantor pajak dalam yurisdiksi yang sama.
Menurut penulis, diperlukan pula pernyataan resmi pemerintah terkait dengan tujuan Pasal 18 ayat (3) UU PPh untuk pencegahan pajak berganda. Hal ini mengingat transfer pricing saat ini dipandang sebagai alat penghindaran pajak.
Publikasi ini sangat berguna tidak hanya bagi praktisi, dunia usaha dan akademisi, tapi juga bagi pembuat kebijakan di Indonesia. Informasi mengenai perbandingan ketentuan transfer pricing di berbagai negara bisa dijadikan suatu benchmark bagi desain ketentuan di Indonesia. (kaw)