“TAXES are what we pay for a civilized society.”
Akrab dialihbahasakan menjadi, “Pajak adalah ongkos peradaban.” Kutipan terkenal dari Hakim Agung Amerika Serikat (AS) Oliver Wendell Holmes Jr. ini juga masuk dalam buku 10 Excellent Reason Not to Hate Taxes.
Kutipan itu mungkin terasa janggal jika dihadapkan pada persepsi masyarakat yang menganggap pajak sebagai beban tanpa ada timbal balik. Namun, kumpulan tulisan dari beberapa penulis dibukukan untuk memberi perspektif tentang pajak, termasuk perannya bagi masyarakat.
Dengan tulisan pengantar dari David Cay Johnston, jurnalis pemenang penghargaan Pulitzer, buku ini disusun dengan studi kasus sistem perpajakan dan kondisi ekonomi di AS. Diterbitkan pada 2007, buku ini membahas masalah makro dan mikro.
Pembahasan masalah makro meliputi ekonomi, pendidikan, demokrasi, serta distribusi dan pemerataan. Perkara mikro terkait dengan peran pajak untuk lingkup individu atau keluarga dalam masyarakat. Sesuai dengan judulnya, buku ini menjabarkan 10 alasan untuk tidak membenci pajak.
Pertama, pajak progresif sebagai representasi sistem yang adil. Merujuk pada kondisi di AS, pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau personal income tax paling mencerminkan hal tersebut. Hal ini didukung 3 faktor, yaitu tarif pajak progresif, penghasilan tidak kena pajak (personal exemption), dan kredit pajak.
Dengan adanya sistem pajak progresif, sebanyak 20% kelas menengah hanya membayar pajak sebesar 6% dari pendapatannya. Kemudian, 20% kelas pendapatan rendah memiliki tarif pajak negatif. Sementara itu, 1% kelas pendapatan tinggi membayar sebesar 24,6% dari pendapatannya.
Kedua, pajak merupakan kewajiban moral. Kekayaan yang didapatkan oleh seseorang merupakan campur tangan dari Tuhan dan masyarakat. Oleh sebab itu, sudah seharusnya seseorang mengembalikan yang didapat dari masyarakat melalui pemenuhan kewajiban pembayaran pajak.
Ketiga, pajak dapat memperkuat ekonomi. Kebijakan pajak dapat mendorong pertumbuhan, bahkan tidak harus melalui insentif pajak. Hal ini dapat terwujud melalui distribusi pajak yang baik ke sektor-sektor penunjang perekonomian. Kemudian, diperlukan pula kebijakan berfokus untuk menekan eksternalitas negatif layaknya cukai dan pajak atas barang impor.
Keempat, pendidikan, terutama public schools, bergantung pada pendapatan pajak. Pada kasus di California, biaya untuk menunjang public schools sebesar 43% berasal dari pajak properti yang dikelola daerah. Pada bahasan selanjutnya, penulis berpendapat diperlukan andil lebih dari pusat untuk menciptakan pemerataan pembangunan.
Kelima, pajak membantu keluarga dalam membesarkan anak. Alasan ini terkesan ‘aneh’ didengar sebab peran pajak menjadi sangat spesifik kepada lingkup permasalahan individu. Namun, jika ditelusuri kembali, pajak akan menciptakan sustainable social insurance.
Dengan demikian, ada pemberian perlindungan kepada masyarakat. Adapun yang dimaksud masyarakat di sini spesifik mengacu pada setiap individu yang merupakan anggota keluarga di negara tersebut.
Keenam, pajak dapat menyelamatkan kehidupan di bumi. Kebijakan pajak yang didasari pada environmental sustainability akan menciptakan lingkungan yang lebih sehat untuk ditinggali. Contoh, adanya carbon tax dengan tujuan mengurangi emisi. Pendapatan atas pajak ini akan dikhususkan untuk membiayai riset dan promosi atas energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Ketujuh, pajak dapat menciptakan kesetaraan ekonomi. Sejarah kebijakan pajak di AS diliputi dengan adanya pemajakan berdasarkan ras yang menekankan beban pajak kepada orang bukan kulit putih. Reformasi kebijakan pajak dapat digunakan sebagai alat untuk menekan racial wealth gap.
Bentuknya dapat berupa kebijakan kredit pajak serta kemudahan pajak atas properti yang menyasar masyarakat kalangan ekonomi rendah. Selain itu, adanya distribusi pajak secara adil dan setara akan meningkatkan kesetaraan ekonomi.
Kedelapan, pajak menciptakan peluang ekonomi. Pajak dalam bab ini dibahas dalam rangka memajaki high net wealth individuals (HNWI). Pajak dari sektor real estate yang rata-rata dibayarkan kalangan masyarakat ekonomi tinggi menyumbang hampir sebesar $1 triliun dalam 1 dekade.
Adanya pajak real estate akan membuka peluang ekonomi karena menjadi insentif pendorong para HWNI melakukan charity. Hal ini dilakukan sebab HNWI dapat mengurangi beban pajak real estate mereka melalui pemberian sumbangan kepada rumah sakit, universitas, dan lainnya.
Kesembilan, pajak baik untuk bisnis. Argumen ini terasa tak lazim sebab persepsi yang beredar di kalangan entitas bisnis cenderung fokus pada tujuan mereduksi beban pajak. Padahal, jika melihat lebih dalam, pajak yang dianggap menghambat justru berdampak baik bagi bisnis.
Entitas bisnis dapat memberikan pembiayaan yang lebih besar untuk sektor penunjang perbaikan kualitas sumber daya masyarakat melalui pajak. Dalam jangka panjang, hal ini akan memberikan dampak positif kepada entitas bisnis sebab akan terciptanya tenaga kerja yang andal.
Kesepuluh, pajak sebagai ‘bahan bakar’ demokrasi. Belanja negara yang berasal dari pajak salah satunya digunakan untuk membiayai institusi yang mendukung aktivitas partisipasi demokrasi. Bentuknya dapat berupa pembiayaan atas institusi untuk menciptakan sekolah dan universitas yang berkualitas, sehingga mendukung aktivitas demokrasi.
Alasan-alasan yang diulas dalam setiap bab buku ini menggambarkan pajak memberi manfaat kepada masyarakat. Seperti yang dijabarkan pada awal buku ini, pajak memberikan kebebasan, peradaban, dan kemakmuran.
Meskipun mengambil konteks AS, buku ini tetap sangat relevan untuk Indonesia. Buku ini cocok untuk para pemangku kepentingan dalam menyusun kebijakan, termasuk saat melangsungkan reformasi pajak. Ada beberapa ulasan yang dapat menjadi pertimbangan.
Dengan penggunaan sudut pandang yang terkesan nyentrik, karya yang didesain dengan ukuran layaknya buku saku ini juga menarik bagi masyarakat umum. Tertarik membaca buku ini? Silakan berkunjung ke DDTC Library. (Fauzara/kaw)