KEMAJUAN teknologi yang ada saat ini mendorong berkembangnya penggunaan internet untuk melakukan berbagai hal seperti berbelanja, mengunduh file digital, sampai melakukan transaksi finansial.
Dapat dikatakan penggunaan internet untuk bertransaksi saat ini telah menyaingi transaksi konvensional. Namun, bagaimanakah era digital ini memengaruhi sektor pajak khususnya pajak pertambahan nilai (PPN) yang berkaitan erat dengan kegiatan konsumsi?
Buku bertajuk European Value Added Tax in the Digital Era merupakan sebuah disertasi yang ditulis oleh Marie Lamensch. Dalam penelitiannya, dia mengangkat permasalahan pengenaan Value Added Tax atau PPN dalam era ekonomi digital di Eropa.
Secara umum, PPN merupakan pajak atas konsumsi yang dikenakan pada konsumen akhir dari setiap rantai transaksi. Penjual (supplier) yang dalam kegiatan bisnisnya melakukan transaksi dan membayar PPN berhak mengajukan kredit atas PPN yang dikenakannya itu.
Selain itu, karakteristik PPN yang dikenakan kepada konsumen akhir juga membuat PPN menganut destination principle, yaitu pengenaan pajak oleh negara di mana barang atau jasa dikonsumsi.
Tidak seperti transaksi konvensional, transaksi di era digital tidak terbatas pada ruang dan waktu. Sangat sulit mengetahui identitas konsumen serta di mana konsumen berkedudukan, karena sebagian besar transaksi melalui internet dilakukan secara anonim. Hal ini merupakan permasalahan utama dalam menerapkan peraturan transaksi konvensional ke dalam transaksi digital.
PPN atas Transaksi Digital di Uni Eropa
Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa telah memiliki sebuah ketentuan harmonisasi pajak pertambahan nilai (VAT Directive). Di dalamnya, telah diatur mengenai transaksi yang dilakukan secara elektronik/digital yang meliputi: pengkategorian dan definisi transaksi elektronik, tempat terjadinya transaksi, sampai metode pemungutan pajak.
Kegiatan yang masuk dalam kategori transaksi elektronik menurut ketentuan ini terbatas hanya pada transaksi dengan interaksi manusia yang minim, serta pengirimannya dilakukan secara otomatis.Online shopping serta jasa konsultasi melalui email tidak termasuk dalam kriteria ini.
Pengkategorian jenis transaksi menurut VAT Directive tidak sejalan dengan rekomendasi OECD tentang transaksi elektronik yang ditujukan untuk semua penyediaan jasa dan properti tak berwujud melalui internet atau jaringan elektronik lain. Peliknya pengkategorian menurut VAT Directive tentu memungkinkan timbulnya misinterpretasi dari berbagai negara anggota.
Permasalahan lain yang muncul terkait tempat terjadinya transaksi. Dalam VAT Directive, hak pemajakan sebuah transaksi diberikan kepada negara tujuan. Namun, sangat sulit mendeteksi konsumen dari transaksi online karena data seperti VAT Number tidak mungkin selalu tersedia pada saat melakukan transaksi elektronik.
Selain itu, terdapat kesulitan untuk mengidentifikasi lokasi konsumen jika konsumen memiliki lebih dari satu lokasi bisnis. Pemasok barang dalam transaksi elektronik harus memastikan bahwa konsumen akan patuh terhadap ketentuan administrasi perpajakan sama seperti dalam transaksi konvensional.
Buku yang diterbitkan pada tahun 2015 ini juga membandingkan antara peraturan terkait VAT di Eropa dengan prinsip non-diskriminasi. Penulis menggunakan beragam studi kasus terkait permasalahan VAT di Eropa. Salah satu kasus membahas tentang apakah aturan PPN pada transaksi online akan mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli suatu barang.
Contoh yang diberikan oleh penulis adalah perbandingan antara buku dan e-book. Penulis berpendapat bahwa perbedaan perlakuan pajak pada kedua benda tersebut tidak memengaruhi keputusan konsumen.
Hal ini disebabkan karena perbedaan format dan karakteristik fisik dari keduanya yang mengakibatkan adanya perbedaan pemenuhan kebutuhan konsumen. Akibatnya, keputusan konsumen untuk memilih salah satu dari kedua barang tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai diskriminasi akibat perlakuan pajak.
Pada bagian terakhir, penulis memberikan beberapa saran untuk reformasi aturan terkait VAT atas transaksi online di Uni Eropa. Poin pertama yang digarisbawahi oleh penulis adalah pentingnya memperluas cakupan definisi transaksi elektronik dan mengkualifikasikan ke dalam satu kategori yaitu supply of intangibles.
Poin keduanya adalah penggunaan prinsip destinasi untuk semua transaksi dalam kategori ini serta menentukan wilayah tempat tinggal pelanggan sebagai satu-satunya lokasi. Hal ini dapat mengatasi kesulitan penjual dalam menentukan lokasi pelangggan jika pelanggan memiliki banyak lokasi bisnis.
Selain itu, terdapat pula rekomendasi melalui mekanisme ‘Know Your Customer’. Melalui mekanisme ini, bank adalah institusi yang berkewajiban untuk mengumpulkan informasi konsumen. Bank juga dapat mengorganisir pengumpulan pajak terutang atas transaksi konsumen tersebut. Hal ini memperkecil kemungkinan terjadinya penipuan serta meringankan tanggung jawab penjual online untuk melakukan verifikasi data konsumen.
Pesatnya perkembangan teknologi saat ini seharusnya juga dapat memfasilitasi aspek perpajakan dalam memajaki sektor digital, dan bukan menimbulkan permasalahan baru. Disertasi yang diterbitkan ke dalam buku ini membahas permasalahan-permasalahan yang muncul dari maraknya transaksi elektronik dan juga memberikan solusi yang dapat diterapkan.
Buku ini dapat menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan yang ingin memecahkan persoalan pajak di sektor digital. Tertarik memahami isu ini? Anda bisa membacanya secara gratis di DDTC Library. (Amu)