TANAH sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar, terutama untuk papan dan lahan usaha. Tanah juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Di sisi lain, bangunan yang berdiri di atas tanah juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya.
Berbicara soal tanah (bumi) dan/atau bangunan, ada sejumlah pajak yang melekat di antaranya pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2). Adapun dasar dalam pengenaan PBB-P2 ialah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
NJOP merupakan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Apabila tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
Besaran NJOP ditetapkan kepala daerah berdasarkan proses penilaian PBB-P2. Penetapan besaran NJOP ini dilakukan setiap 3 tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
Namun, dalam praktiknya, terdapat pemerintah daerah yang mengalami kesulitan dalam menetapkan NJOP dan masih menggunakan NJOP yang belum dimutakhirkan. Hal ini membuat NJOP di daerah belum mencerminkan harga transaksi atas objek bumi dan bangunan di daerah tersebut.
Guna membantu pemerintah daerah menetapkan NJOP yang relevan dan reliable, pemerintah pusat menyusun pedoman penilaian NJOP bumi dan/ atau bangunan untuk PBB-P2. Pedoman penilaian itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 208/2018.
Berdasarkan beleid tersebut, cara penilaian PBB-P2 bervariasi tergantung pada jenis objeknya. PMK 208/2018 membagi jenis objek PBB-P2 menjadi 2 golongan, yaitu objek pajak umum dan objek pajak khusus. Lantas, apa itu objek pajak umum dan objek pajak khusus?
Pengertian Objek Pajak Umum
Objek pajak umum merupakan objek pajak yang memiliki konstruksi umum dengan keluasan tanah berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. PMK 208/2018 membagi kembali objek pajak umum menjadi 2 golongan, yaitu objek pajak standar dan objek pajak nonstandar.
Perincian kriteria objek pajak umum yang termasuk standar dan nonstandar tercantum dalam lampiran PMK 208/2018. Berdasarkan lampiran tersebut, pembagian golongan objek pajak umum standar dan nonstandar didasarkan pada luas tanah, luas bangunan, dan jumlah lantai bangunan.
Berdasarkan lampiran PMK 208/2018, objek pajak standar adalah objek pajak yang memiliki luas tanah ≤10.000 m2, luas bangunan ≤1.000 m2, dan jumlah ≤4 lantai. Sementara itu, objek pajak non standar adalah objek pajak yang melebihi kriteria objek pajak standar.
Artinya, objek pajak nonstandard adalah objek pajak yang luas tanahnya >10.000 m2, luas bangunan >1.000 m2, dan jumlah >4 lantai. Sesuai dengan Pasal 5 ayat (3) PMK 208/2018, NJOP bangunan objek pajak umum dihitung, baik melalui penilaian massal maupun penilaian individual.
Sementara itu, penilaian individual untuk objek pajak umum dilakukan apabila penilaian massal tidak memadai untuk memperoleh NJOP secara akurat. Klasifikasi NJOP objek pajak umum diatur lebih lanjut dengan peraturan kepala daerah.
Pengertian Objek Pajak Khusus
Objek pajak khusus merupakan objek pajak yang memiliki konstruksi khusus atau keberadaannya memiliki arti yang khusus. Objek pajak khusus itu seperti: jalan tol; galangan kapal, dermaga; lapangan golf; pabrik semen/pupuk; tempat rekreasi; tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; stasiun pengisian bahan bakar; dan menara.
Berbeda dengan objek pajak umum, NJOP objek pajak khusus dihitung melalui penilaian individual. Selain menggunakan surat pemberitahuan objek pajak (SPOP), proses pendataan objek pajak khusus juga menggunakan lembar kerja objek khusus (LKOK).
LKOK tersebut menjadi formulir tambahan yang dipergunakan untuk menghimpun data tambahan atas objek pajak yang mempunyai kriteria khusus yang belum tertampung dalam SPOP dan Lampiran SPOP. Simak Apa Itu SPOP, LSPOP, dan LKOK PBB? (rig)