RESTITUSI pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penerapan PPN. Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai restitusi PPN, perlu dipahami terlebih dahulu megenai konsep dasar PPN itu sendiri sebagai pajak konsumsi.
Kata konsumsi dalam konteks PPN sebagai pajak konsumsi merujuk pada konsumsi pribadi (private consumption) yang dilakukan oleh konsumen akhir (Ad von Doesum dan Gert-Jan van Norden, 2011).
Artinya, yang menanggung beban PPN adalah konsumen akhir. Adapun mekanisme pengenaannya melalui pemungutan oleh pihak lain yang ditunjuk oleh undang-undang.
Pengusaha kena pajak (PKP) adalah pihak yang diberi tanggung jawab untuk melakukan pemungutan PPN atas penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP). Sepanjang PKP tersebut tidak melakukan konsumsi BKP dan/atau JKP maka PKP tersebut bukan pihak yang menanggung beban PPN.
Hal itu tercermin dalam penerapan metode pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran sebagai salah satu metode pengenaan PPN atau lazim disebut metode PK-PM.
Melalui metode ini, PKP yang berkewajiban untuk memungut pajak keluaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukannya, mempunyai hak untuk mengkreditkan pajak masukan yang dibayarkannya atas perolehan BKP dan/atau JKP yang digunakan dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya.
Hak untuk mengkreditkan ini yang menjamin PKP bukan sebagai pihak yang menanggung beban PPN. Inilah yang dimaksud dengan netralitas dalam konsep PPN, yang mana PKP hanya menyetorkan selisih lebih pajak keluaran terhadap pajak masukan (Charlène Herbain, 2013).
Munculnya Kelebihan Pajak Masukan
Terdapat kemungkinan dalam suatu masa pajak, pajak masukan ternyata lebih besar daripada pajak keluaran. Hal ini bisa terjadi terutama bagi PKP yang melakukan kegiatan ekspor.
Kelebihan pajak masukan ini adalah hak PKP yang wajib dikembalikan oleh negara. Oleh sebab itu, ketika kelebihan terjadi, sudah menjadi hak PKP untuk meminta kembali kelebihan pajak masukan tersebut seketika muncul.
Dalam sistem PPN, secara umum terdapat tiga metode yang dapat digunakan untuk mengembalikan kelebihan pembayaran pajak masukan (Alan Schenk dan Oliver Oldman, 2007). Ketiga metode tersebut antara lain:
Secara prinsip, restitusi harus diberikan segera begitu kelebihan pembayaran pajak telah diterima oleh otoritas pajak. Para ahli PPN pun sepakat mengenai prinsip ini. Banyak negara, terutama negara maju, memberikan klaim restitusi dalam waktu sesegera mungkin setelah pengajuan.
Bahkan di Luksemburg, meskipun tidak mengatur batas waktu pengembalian kelebihan pajak masukan, pengadilan pajak di negara ini menyatakan bahwa penyelesaian proses klaim restitusi harus dilakukan tidak lebih dari dua bulan (Charlène Herbain, 2013).
Namun demikian, di beberapa negara, restitusi seringkali memerlukan waktu berbulan-bulan, bahkan lebih dari satu tahun. Restitusi menjadi persoalan otoritas pajak dan wajib pajak, terutama dalam kasus penundaan pembayaran restitusi dikarenakan adanya pemeriksaan.
Ketentuan perundang-undangan PPN juga mengharuskan adanya imbalan bunga atas jumlah PPN yang tidak dikembalikan dalam jangka waktu yang wajar sebagai alat untuk mendisiplinkan administrasi pajak.
Beberapa negara seperti di Afrika Selatan, Singapura, UK dan Belanda, juga telah menetapkan bunga atas keterlambatan pembayaran klaim restitusi oleh pemerintah.
Demikian penjelasan secara umum mengenai prinsip restitusi PPN. Artikel selanjutnya akan mengulas mengenai bagaimana prosedur PPN dilakukan. Adapun seluruh artikel kelas pajak mengenai PPN ini dapat dibaca di sini atau membaca buku 'Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai' terbitan DDTC.*