PADA dasarnya, kepatuhan pajak bukanlah sesuatu yang mudah diwujudkan apalagi jika hanya bergantung dari penegakan hukum yang bersifat memaksa (enforcement). Diperlukan pula upaya lain dalam bentuk kemudahan administrasi bagi wajib pajak untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak (Greni, 2005).
Saat ini, salah satu opsi kemudahan administrasi yang tengah dikaji oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak adalah melalui pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan sistem pre-populated tax return.
Sistem tersebut sering juga disebut sebagai pre-filled return, pre-completed return, atau pro-forma return. Rencananya, sistem pelaporan tersebut akan dimulai melalui suatu pilot project yang melibatkan beberapa perusahaan untuk pelaporan SPT Pajak Penghasilan (PPh) pada 2018.
Lantas, apakah yang dimaksud dengan pre-populated tax return? Apakah program ini memang efektif dalam meningkatkan kepatuhan? Jika ya, apa hal-hal yang harus diperhatikan dan menjadi prasyarat?
Konsep Pre-Populated Tax Return
Program pre-populated tax return merupakan sistem pelaporan pajak di mana otoritas pajak berperan sebagai pihak yang memasukkan informasi relevan mengenai wajib pajak dengan menggunakan sumber data dari pihak ketiga serta sumber informasi yang valid lainnya (OECD, 2006). Selain digunakan untuk meningkatkan kepatuhan, program ini juga diimplementasikan untuk menyederhanakan prosedur pelaporan pajak (Evans & Tran-Nam, 2010).
Informasi yang bersumber dari pihak ketiga akan tersedia secara otomatis pada formulir laporan SPT wajib pajak di mana wajib pajak kemudian melakukan konfirmasi atas kesesuaian data dan informasi yang disediakan tersebut (OECD, 2006). Sedangkan, proses konfirmasi dan verifikasi atas kesesuaian data kemudian bergantung pada kebijakan masing-masing negara.
Pada umumnya, untuk konfirmasi, wajib pajak dapat melakukan koreksi secara langsung pada formulir yang tersedia, seperti misalnya di Finlandia dan Australia. Sedangkan di Denmark, koreksi atas data pre-populated oleh wajib pajak harus melalui pengecekan dokumen pendukung oleh otoritas pajak (IBFD, 2015).
Pre-populated tax return umumnya digunakan untuk jenis pajak yang dikenakan atas penghasilan baik untuk orang pribadi maupun badan. Namun demikian, program ini dapat juga digunakan untuk jenis pajak lainnya, seperti halnya untuk Australia dan Selandia Baru yang sedang mengembangkannya untuk Goods and Services Tax (GST) di negaranya.
Negara yang pertama kali menerapkan program pre-populated tax return adalah Denmark pada 1988, yang kemudian diikuti oleh negara-negara di kawasan Nordik lainnya. Hingga saat ini, program pre-populated tax return semakin berkembang di banyak negara seiring berkembangnya administrasi pajak, terutama dalam hal digitalisasi perpajakan.
Ditinjau dari cakupan informasi yang dapat diakses dan diintegrasikan oleh otoritas pajak, program pre-populated tax return dapat diklasifikasikan menjadi dua: komprehensif dan parsial. Program yang bersifat komprehensif umumnya telah memunculkan beragam informasi dalam pelaporan SPT wajib pajak, yaitu: (i) data dan informasi identitas wajib pajak, (ii) jumlah dan sumber penghasilan utama wajib pajak, (iii) transaksi jual beli aset atau investasi lainnya yang berimplikasi pada capital gain tax maupun pajak kekayaan (wealth tax), (iv) pemotongan/pemungutan pajak yang telah diadministrasikan oleh pihak ketiga atau diestimasi dengan menggunakan rumus tertentu, (v) jumlah kredit pajak, dan (vi) utang/pengembalian pajak berdasarkan informasi yang dapat diakses oleh otoritas pajak (Highfield, 2006).
Contoh negara yang telah menerapkan program ini secara komprehensif di antaranya adalah Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia (Highfield, 2008).
Sedangkan, program yang bersifat parsial hanya mencakup salah satu atau sebagian dari informasi-informasi tersebut. Saat ini, jumlah negara yang menerapkan program ini secara parsial semakin bertambah, di antaranya adalah Belgia, Chili, Australia, Perancis, Portugal, Malaysia, Inggris, Spanyol, dan Singapura.
Aspek Ekonomi dan Hukum
Secara umum, program pre-populated tax return dipercaya dapat memberikan kemudahan administrasi sehingga memperbaiki tingkat kepatuhan secara signifikan. Akan tetapi, implementasinya kerap mempengaruhi biaya yang berkaitan dengan pengeluaran dari pihak otoritas pajak (administrative cost). Dalam hal ini, administrative cost dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu biaya awal (start-up) dan biaya pemeliharaan (maintenance).
Biaya awal mencakup investasi sistem teknologi yang akan mempercepat proses pengolahan data dan pencocokan informasi (Holtzblatt, 2007), maupun biaya yang terkait dengan survei, pilot project, ataupun desain program (Bankman, 2005). Sedangkan, biaya pemeliharaan untuk program ini umumnya merupakan biaya administrasi, terutama untuk mengelola keamanan jaringan.
Walau membutuhkan biaya yang tidak sedikit, ke depannya pre-populated tax return juga memberikan manfaat yang tidak sedikit pula. Beberapa keunggulan program ini bagi wajib pajak adalah biaya kepatuhan yang lebih rendah dalam menghitung nilai pajak terutang maupun proses restitusi yang lebih cepat ketika terjadi lebih bayar (OECD, 2006; Davidson, 2009).
Pada kasus di Slovenia misalnya, biaya kepatuhan menurun drastis hingga mencapai 73% pasca pemberlakukan program ini (Klun, 2009). Bagi otoritas pajak, penerapan pre-populated tax return juga dapat membuat proses pelaporan, pengajuan restitusi, hingga pemeriksaan menjadi semakin efektif dan efisien sehingga menurunkan biaya administrasi. Pada akhirnya, seluruh hal tersebut akan meningkatkan kinerja dan citra positif bagi otoritas pajak (Ibrahim, 2013).
Lebih lanjut lagi, dalam mempersiapkan pengembangan pre-populated tax return yang efektif dan efisien, terdapat beberapa prasyarat sebagaimana yang disebutkan oleh OECD sebagai critical success factors (CSFs) (OECD, 2006).
Faktor-faktor tersebut antara lain: (i) tingkat akurasi dari mekanisme pemotongan/pemungutan pajak yang berlaku, (ii) kesesuaian dari identitas, data, dan informasi wajib pajak yang tepat dan saling terintegrasi satu sama lain, (iii) ketersediaan dan akses informasi dari pihak ketiga, (iv) kerangka hukum yang sesuai, (v) penggunaan teknologi secara efektif, dan (vi) interaksi tatap muka yang minimal dengan pihak wajib pajak.
Khusus mengenai kerangka hukum, terdapat setidaknya tiga aspek yang perlu untuk diatur lebih lanjut dengan adanya rencana penerapan program ini.
Pertama, pre-populated tax return berimplikasi pada pemindahan beban pembuktian kepada wajib pajak. Dalam hal ini, perhitungan otoritas pajak seperti yang tertera dalam pre-populated tax return dianggap benar selama tidak terdapat pembuktian dari wajib pajak. Karena itu, dibutuhkan suatu pengaturan atas hal ini dengan lebih detail agar menghindari potensi sengketa.
Kedua, pada negara-negara yang mengadopsi sistem self-assessment, pre-populated tax return belum tentu memiliki legitimasi yang kuat. Memang betul bahwa sistem self-assessment -seperti halnya pre-populated tax return-membutuhkan ketersediaan data dan informasi dari pihak ketiga dalam rangka menjamin adanya pengawasan dan pembinaan dari otoritas pajak, akan tetapi program tersebut memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk sukarela menghitung, membayar, dan melaporkan pajak terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, diperlukan suatu landasan hukum dalam pengimplementasian pre-populated tax return. Rancangan hukum tersebut akan sangat tergantung dari apakah pre-populated tax return hanya merupakan pilot project, bersifat temporer, opsional, atau akan semakin dikembangkan menjadi model utama pelaporan pajak.
Terakhir, pre-populated tax return berkaitan erat dengan transparansi pajak dan akses informasi. Padahal, informasi transparan yang berasal dari pihak ketiga haruslah berasal dari sumber yang terpercaya (Kleven et al, 2010). Tidak mengherankan jika negara yang mengimplementasikan pre-populated tax return umumnya memiliki legislasi primer yang menjamin tunduknya kerahasiaan informasi di hadapan kepentingan perpajakan.
Prospek di Indonesia
Dari uraian sebelumnya, pre-populated tax return bisa disimpulkan sebagai salah satu strategi kunci dalam upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Program yang telah banyak diterapkan di berbagai negara tersebut juga secara tidak langsung ‘memaksa’ adanya pembenahan-pembenahan administrasi pajak, mulai dari ketersediaan informasi hingga teknologi penunjang.
Penting pula untuk dicatat bahwa penerapan pre-populated tax return juga dapat dijadikan salah satu bentuk sosialisasi pajak, terutama atas kewajiban perhitungan dan pelaporan jenis penghasilan dan/atau harta yang selama ini belum dipahami oleh para wajib pajak.
Dengan mempertimbangkan berbagai keunggulannya, maka penerapan di Indonesia dirasa perlu. Menariknya, embrio dari penerapan pre-populated tax return di Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 2017 lalu. Hal ini dapat dilihat pada sistem pelaporan SPT dengan format elektronik (e-form SPT), terutama untuk e-form 1770 dan 1770S untuk wajib pajak orang pribadi dan e-form 1771 untuk wajib pajak badan.
Pada format tersebut, beberapa jenis data pada SPT akan terisi secara otomatis. Misalnya dalam e-form 1770 dan 1770S terdapat data wajib pajak, daftar harta, daftar kewajiban/utang, daftar susunan keluarga, daftar pemotongan/pemungutan pihak lain, dan daftar pemotongan PPh 21 Final.
Sedangkan, untuk e-form SPT 1771 terbatas hanya untuk data wajib pajak saja seperti data NPWP, nama wajib pajak, jenis usaha, dan Kelompok Jenis Usaha (KLU). Sebagai catatan, data pre-populated dapat tersedia otomatis apabila pelaporan SPT tahun sebelumnya telah menggunakan metode e-form atau e-filing.
Walau penerapannya sejauh ini telah membantu wajib pajak, akan tetapi masih terdapat beberapa pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan sebagai prasyarat keberhasilan. Sebagai awalan, harus terdapat upaya untuk memperkuat sinergi antara Ditjen Pajak dan pihak ketiga yang berperan sebagai penyedia data dan informasi yang valid.
Dalam konteks Indonesia, landasan hukum atas akses informasi dalam rangka pemberlakuan sistem ini sejatinya sudah ada. Salah satunya melalui Undang-Undang No. 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
Lebih lanjut lagi, pengembangan sistem audit dan teknologi informasi yang lebih baik juga diperlukan untuk meminimalisir risiko dari ketidaksesuaian perhitungan. Hal ini perlu diperhatikan mengingat adanya potensi terjadinyamoral hazard, misalkan yang dilakukan oleh wajib pajak dalam situasi perhitungan melalui pre-populated tax returnmemberikan kondisi lebih bayar (Fonseca & Grimshaw, 2015; Kotaakorpi & Lamaanen, 2016). Perhatian juga harus diberikan pada adanya ketersediaan regulasi serta jaminan perlindungan hak-hak wajib pajak dalam rangka menciptakan kepastian hukum.
Pada akhirnya, pre-populated tax return bukanlah ‘obat mujarab’ untuk mengatasi seluruh permasalahan kepatuhan pajak. Pre-populated tax return hanya salah satu upaya mewujudkan sistem pajak yang lebih sederhana dan akurat dengan biaya kepatuhan yang lebih rendah.
Penerapannya sebisa mungkin juga turut melihat kesiapan sistem manajemen data, ketersediaan informasi, serta infrastruktur hukum. Tanpa adanya hal-hal tersebut, alih-alih dapat digunakan untuk memperbaiki tingkat kepatuhan, sistem ini hanya akan menciptakan kerumitan baru dan tambahan biaya administrasi khususnya bagi otoritas pajak.*