PEMAJAKAN atas properti menjadi ‘tonggak utama’ dari upaya peningkatan kapasitas penerimaan daerah di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh IMF maupun OECD dalam laporan rekomendasi yang dirilis bersamaan dengan momentum Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Bali.
Saat ini, penerimaan negara dari pajak atas properti atau yang lebih dikenal dengan Pajak atas Bumi dan Bangunan (PBB) diestimasi berkisar antara 0,3% hingga 0,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kontribusi tersebut dinilai masih belum maksimal, mengingat jenis harta kekayaan di Indonesia yangdidominasi oleh real estate dibandingkan aset finansial (Credit Suisse, 2017).
Secara historis, pemajakan atas properti di Indonesia merupakan kewenangan pemerintah pusat sebelum akhirnya beberapa jenis pengelolaannya kemudian diotorisasi kepada pemerintah kabupaten/kota melalui Undang-Undang (UU) No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jenis pajak yang dilimpahkan kewenangan kepada daerah kabupaten/kota hanya untuk Pedesaan dan Perkotaan atau PBB-P2, sedangkan PBB untuk Perkebunan, Pertambangan, dan Perhutanan (PBB-P3) masih dikelola oleh pusat.
Pendelegasian kewenangan pemungutan PBB-P2 kepada pemerintah daerah merupakan suatu terobosan sebagai upaya meningkatkan kemandirian fiskal daerah. Pembenahan PBB-P2 kemudian menjadi kunci untuk membenahi sistem pajak daerah di Indonesia sebagaimana yang direkomendasikan oleh IMF dan OECD. Namun demikian, keduanya memiliki pendekatan yang berbeda.
IMF, melalui medium-term revenue strategy (MTRS) untuk Indonesia, memberikan rekomendasi untuk menaikkan tarif maksimum PBB-P2 yang saat ini sebesar adalah sebesar 0,3% menjadi sebesar 1%. OECD, selainmengusulkan kenaikan tarif maksimum, juga menyoroti nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP).
Berkenaan dengan NJOPTKP, OECD memberikan rekomendasi agar daerah dapat menaikkan besaran NJOPTKP yang ditetapkan minimum sebesar 10 juta rupiah. Dengan kata lain, OECD merekomendasikan agar daerah dapat lebih mandiri dalam penetapan kebijakan pajaknya sesuai dengan tujuan masing-masing daerah. Menaikkan NJOPTKP juga dapat mengurangi ketimpangan kekayaan dengan tidak membebani PBB-P2 terlalu besar kepada masyarakat kelas bawah.
Selanjutnya, IMF merekomendasikan pembenahan atas sistem administrasi pemungutan PBB-P2. Sebagaimana permasalahan umum pemajakan atas properti di berbagai negara lainnya, kapasitas administrasi daerah yang masih sangat rendah juga menjadi kendala utama atas PBB-P2 terutama dalam hal pembaharuan data atas properti (Bird & Slack, 2002). Dengan demikian, tidak mengherankan jika IMF merekomendasikan adanyarevaluasi data dengan koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah.
Pembaruan data juga menjadi fokus pada rekomendasi OECD. Dilatarbelakangi oleh belum tersedianya sistem kadaster yang memuat data atas properti dalam lingkup nasional, OECD merekomendasikan penguatan kapasitas administrasi daerah. Kapasitas tersebut mencakup administrasi aset tanah dan bangunan secara tepat, baik informasi atas nilai properti maupun juga kepemilikannya. Ini diharapkan dapat memperluas basis pajak. Lebih lanjut, OECD juga menyarankan penguatan sumber daya manusia daerah yang berkaitan dengan teknologi informasi.
Usulan OECD sangat masuk akal. Pendataan properti yang tidak tepat dapat menyebabkan timbulnya biaya administrasi yang besar di kemudian hari. Biaya administrasi yang timbul dapat berupa tanggung jawab pemerintah setempat untuk mengumpulkan kewajiban pajak yang belum dibayarkan secara tepat dari tahun-tahun sebelumnya (von Haldenwang, 2015). Selain itu, rendahnya kapasitas otoritas penerimaan pajak daerah yang belum mumpuni berpotensi meningkatkan piutang pajak tidak tertagih (Slack &Bird, 2014).
Pada akhirnya, pembenahan atas PBB-P2 dapat dicermati sebagai suatu perjalanan yang masih panjang dan perlu perhatian serius bagi Indonesia. Reformasi PBB-P2 yang direkomendasikan baik oleh IMF maupun OECD dapat digunakan sebagai awalan dalam penguatan kemandirian fiskal daerah.
Dalam konteks ini, pembenahan administrasi PBB-P2 harus menjadi prioritas bersama serta perlu didukung oleh kebijakan yang transparan (Kelly, 2013). Selain meningkatkan penerimaan daerah, implementasi reformasi sistem PBB-P2 berpeluang menjadi bukti sukses ‘kontrak fiskal daerah’ melalui mobilisasi penerimaan dan penyediaan layanan publik yang semakin baik di masa mendatang.