ANALISIS PAJAK

Beban Pembuktian dalam Kasus Transfer Pricing

Redaksi DDTCNews
Jumat, 23 November 2018 | 11.17 WIB
ddtc-loaderBeban Pembuktian dalam Kasus Transfer Pricing
DDTC Consulting

KETIKA seseorang memberikan suatu pernyataan yang bukan merupakan fakta yang diketahui orang pada umumnya, respon yang seringkali didapat adalah kalimat pertanyaan, “Apa buktinya?” Bisa juga dengan kalimat-kalimat lain yang intinya meminta siapapun yang memberikan pernyataan harus mempertanggungjawabkan pernyataan tersebut dengan bukti-bukti pendukung.

Terkait dengan pembuktian ini tentunya tidak asing dalam panggung persidangan, yang dikenal dengan sebutan “beban pembuktian” atau dalam bahasa latin dikenal dengan nama “onus probandi”. Prinsip dasarnya adalah “semper necessitas probandi incumbit ei qui agit” yang artrinya kewajiban untuk membuktikan berada pada pihak yang menggugat.

Berangkat dari pemahaman di atas dan merefleksikannya dalam penerapan hukum acara di Indonesia, beban pembuktian pada kasus perdata ada pada penggugat karena pihak tersebut yang semula mengajukan gugatannya (Pasal 1865 KUHPer). Dalam kasus pidana, beban pembuktian hingga mencapai standar pembuktian beyond a reasonable doubt berada pada jaksa penuntut umum (Pasal 66 UU Hapid). Namun, bagaimana dengan kasus pajak yang terkait dengan isu “transfer pricing”, khususnya dalam praktik di Indonesia, berada pada siapakah beban pembuktian tersebut?

Pada dasarnya penggunaan istilah “burden of proof” sendiri dapat diartikan dan dilihat menjadi dua hal yang berbeda, yaitu burden of persuasion dan burden of production.Beban persuasi atau burden of persuasion merupakan kewajiban untuk mengenalkan bukti yang menyakinkan hakim hingga mencapai standar keyakinan yang diperlukan bahwa preposisi dari suatu fakta tertentu adalah benar (Douglas Walton, 2014).

Adapun beban pengeluaran atau burden of production, yang juga dikenal denganburden of coming forward with the evidence adalah kewajiban untuk dapat memenuhi standar bukti dengan alat dan barang bukti yang cukup. Dari segi beban bukti tidak ada masalah karena Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak sudah cukup mengakomodir mengenai apa saja yang  menjadi alat bukti dalam persidangan. Oleh sebab itu, yang menjadi dilema adalah bagaimana dengan penerapan beban persuasi. Keperluan persuasi tentunya secara logika ada di setiap pihak yang berargumen.

Berdasarkan Pasal 76 UU Pengadilan Pajak, demi mendapatkan kebenaran materiil, hakim diberikan kebebasan untuk menentukan apa yang harus dibuktikan dan kepada siapa beban pembuktian tersebut ditujukan. Sistem pembuktian seperti ini sebenarnya juga diterapkan dalam prosedur pembuktian di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kesamaan ini, apakah dapat dijadikan dasar acuan untuk pelaksanaan beban pembuktian dalam Pengadilan Pajak?

Paralel dengan kedudukan badan negara sebagai tergugat dalam sengketa di PTUN, kedudukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sama dengan badan negara dalam PTUN yang pada umumnya dianggap memiliki kekuatan yang superior daripada pemohon banding. Ini tentu menjadi dilema, ketika beban pembuktian dalam Pengadilan Pajak semata-mata berada di tangan hakim yang mengadili perkara banding.

Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) huruf b dan d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), terkait Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan secara jabatan, secara jelas dinyatakan bahwa beban pembuktian atas perhitungan pajak terutang yang dikeluarkan oleh DJP berada pada wajib pajak. Hal ini wajar saja, karena wajib pajak tidak dapat menyediakan data dan/atau informasi sebagai basis penghitungan pajak terutang. Isunya adalah bagaimana jika wajib pajak sudah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan pajak, tetapi DJP mengeluarkan SKP atas ketidakbenaran pelaksanaan kewajiban wajib pajak?

Terkait isu di atas, melihat praktik di negara Italia, otoritas pajak di Italia merupakan pihak yang menanggung beban pembuktian sebab mereka adalah pihak yang mengajukan klaim melalui penerbitan SKP (Ganda Christian Tobing dan Veronica, 2010). Kemudian, dari beberapa negara lain, seperti Prancis, Jerman, Belanda, dan Jepang, negara-negara tersebut juga menjadikan pihak otoritas pajak sebagai pihak yang menanggung beban pembuktian (Paragraf 3.6.9. UN TP Manual).

Pendekatan di atas dilandasi pada logika yang sama bahwa karena klaim “tidak benar” yang menyebabkan sengketa tersebut diterbitkan oleh otoritas pajak. Namun, mekanisme beban pembuktian di negara-negara tersebut tidak serta merta kaku dan hanya dibebankan terhadap salah satu pihak saja. Beban pembuktian dapat berpindah ketika ada incompliance oleh wajib pajak (Paragraf 3.6.10 – 3.6.13 UN TP Manual).

Penerapan beban pembuktian seperti di atas, bukan berarti selamanya beban pembuktian berada di pihak otoritas pajak saja. Mengingat sistem pembuktian dalam sengketa pajak adalah pembuktian bebas, yaitu hakim dapat menentukan apa dan oleh siapa suatu hal harus dibuktikan. Beban pembuktian bisa tetap dilimpahkan kepada wajib pajak yang tidak patuh atau tidak memiliki “itikad baik” terhadap ketentuan pajak yang ada.

Sebaliknya, “itikad baik” ini seharusnya juga menjadi standar awal ketika DJP mengeluarkan hasil pemeriksaannya melalui SKP. Ketika DJP hanya mengajukan klaim tanpa dapat membuktikan kebenaran dari klaim-nya tersebut maka menjadi pertanyaan apakah ada “itikad baik” atas terbitnya SKP tersebut.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.