Abiyoga Sidhi Wiyanto,
SEJAK Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) disahkan, Indonesia memiliki payung hukum terkait dengan pengenaan pajak karbon. Kendati demikian, hingga saat ini, kebijakan tersebut belum kunjung diimplementasikan.
Sejatinya, terdapat urgensi untuk segera mengimplementasikan pajak karbon di Indonesia. Salah satunya, sesuai dengan dokumen Enhanced NDC, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi tingkat emisi karbon hingga 32% dengan usaha sendiri pada 2030.
Tidak dimungkiri, meskipun dinilai sebagai salah satu cara untuk mengurangi emisi, implementasi pajak karbon tetap perlu memperhatikan beberapa aspek penting. Berdasarkan pada suatu penelitian, kebijakan iklim dan pajak karbon bersifat politis sehingga keberhasilan implementasi sensitif terhadap opini publik (United Nations, 2021).
Dalam praktik, UN Handbook on Carbon Taxation in Developing Countries menyebut rendahnya akseptabilitas publik telah dua kali menjadi penyebab gagalnya penerapan pajak karbon di negara bagian Washington. Berdasarkan pada fakta ini, akseptabilitas dan opini publik terhadap pajak karbon menjadi penting dalam penilaian efektivitas kebijakan tersebut nantinya.
Sejalan dengan itu, penelitian terkait kebijakan pajak atas emisi — berupa congestion charges — di banyak kota di Eropa menunjukkan tingkat akseptabilitas publik memang relatif rendah sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan. Namun, akseptabilitas publik akan meningkat secara bertahap setelah kebijakan tersebut diterapkan (Schuitema et al., 2010).
Lantas, apa saja aspek yang dapat memengaruhi akseptabilitas publik terhadap implementasi pajak karbon? Setidaknya, terdapat lima aspek yang perlu menjadi perhatian pemerintah Indonesia.
Pertama, transparansi dan penggunaan dana. Masyarakat cenderung lebih menerima pajak karbon apabila pemerintah dapat menunjukkan transparansi dalam pengelolaan dana yang diperoleh. Misalnya, dana tersebut harus dialokasikan untuk proyek-proyek lingkungan atau program yang langsung berdampak positif bagi masyarakat (IMF, 2023).
Kedua, sosialisasi dan edukasi publik. Pemberian pemahaman kepada publik mengenai tujuan dan manfaat dari suatu jenis pajak menjadi sangat penting (Laplane dan Mazzucato, 2020). Sosialisasi terkait dengan pajak karbon yang efektif dapat membantu mengurangi resistensi terhadap kebijakan tersebut.
Ketiga, dampak pada masyarakat dan ekonomi. Pajak karbon sering dianggap tidak adil secara ekonomi dan sosial karena dampak kenaikan harga energi akan lebih dirasakan oleh kelompok berpenghasilan rendah. Bagi kelompok tersebut, belum tersedia sumber energi alternatif lain. Oleh karena itu, adanya pajak karbon akan menaikkan harga tanpa memberikan pilihan energi yang lebih ramah lingkungan (Chaney, 2021).
Selanjutnya, pajak karbon menginternalisasi biaya yang ditimbulkan atas dampak negatif terhadap lingkungan dengan menambahkannya pada harga jual barang atau jasa. Akibatnya, terjadi kenaikan harga yang harus ditanggung oleh kelompok berpenghasilan rendah sebagai konsumen.
The European Bank for Reconstruction and Development (EBRD) menyebut fenomena di atas sebagai greenflation, yaitu ketika terjadi kenaikan harga barang dan jasa secara umum akibat transisi menuju ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Ini kemudian memberikan dampak ekonomi secara langsung yang dirasakan masyarakat.
Keempat, partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan. Partisipasi publik berkontribusi pada hasil keputusan yang lebih baik karena pembuat kebijakan mendapatkan informasi yang lebih akurat melalui masukan dari berbagai lapisan masyarakat. Alhasil, kebijakan dari proses yang melibatkan publik memiliki legitimasi yang lebih kuat (United States Environmental Protection Agency, 2024).
Keterlibatan publik sejatinya dapat meningkatkan hubungan baik serta kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat atas implementasi sebuah kebijakan, khususnya pajak karbon.
Kelima, efektivitas pajak karbon dalam mengurangi emisi secara signifikan. Tarif pajak karbon yang tergolong rendah tidak cukup untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat ke arah yang lebih ramah lingkungan. Hal ini disebabkan tarif pajak karbon yang berlaku saat ini belum dapat memberikan insentif bagi masyarakat untuk beralih ke aktivitas yang rendah karbon (Carattini, Carvalho, dan Fankhauser, 2018).
Apabila dilihat dari segi pemanfaatannya, penerimaan yang diperoleh dari pajak karbon secara eksplisit dapat dialokasikan pada program mitigasi karbon, kebijakan pengurangan pajak atas penghasilan individu, atau sebagai tambahan anggaran pemerintah (Sumner et al., 2009).
Berangkat dari uraian di atas, berikut beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah Indonesia dalam meningkatkan akseptabilitas publik sebelum mengimplementasikan pajak karbon.
Pertama, kejelasan alokasi penerimaan. Bagaimana penerimaan dari pajak karbon dibelanjakan menentukan seberapa besar dukungan publik. Pengalokasian penerimaan dari pajak karbon untuk pengurangan emisi dapat meyakinkan publik bahwa pajak karbon dijalankan secara efektif dan mencapai tujuan pengurangan emisi yang telah ditentukan (Baranzini dan Carattini, 2017).
Namun demikian, Pasal 13 ayat (12) UU HPP menyebutkan, “Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim”. Kata ‘dapat’ dari kalimat ini menimbulkan kekhawatiran terkait pengalokasian penerimaan pajak karbon untuk bidang selain pengendalian perubahan iklim. Jika terjadi, hal ini tidak sejalan dengan konsep penerapan pajak karbon itu sendiri.
Dalam konteks ini, pajak karbon dapat dipersamakan dengan hypothecated tax. Adapun hypothecated tax diartikan sebagai pajak yang ditujukan untuk hal tertentu (Darussalam, Septriadi, dan Marhani, 2024). Oleh karenanya, secara konsep, anggaran yang berasal dari pajak karbon seharusnya hanya digunakan untuk pendanaan kebijakan yang berkaitan dengan dampak negatif emisi karbon.
Kedua, redistribusi pendapatan yang adil. Redistribusi pendapatan merupakan salah satu fungsi utama pajak (Darussalam, Septriadi, dan Marhani, 2024). Oleh karena itu, penerimaan dari pajak karbon harus digunakan secara produktif untuk memberikan manfaat bagi perekonomian guna mengimbangi dampak kenaikan harga energi (IMF, 2021).
Selain itu, redistribusi pendapatan yang adil dalam implementasi pajak karbon merupakan kunci untuk memastikan kebijakan ini tidak memberatkan kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pengalokasian anggaran yang lebih adil kepada masyarakat yang rentan terhadap perubahan iklim, rawan bencana, dan terdampak greenflation.
Ketiga, bauran kebijakan antara pajak karbon dan bursa karbon. Tidak ada solusi tunggal yang bersifat mutlak dalam efektivitasnya mengatasi sebuah masalah. Namun, pajak karbon berperan penting dalam menciptakan ekosistem rendah karbon. Oleh karena itu, bauran kebijakan antara pajak karbon dan bursa karbon dapat menjadi strategi efektif dalam menurunkan emisi sekaligus meningkatkan akseptabilitas publik (Zhao et al., 2020).
Karakteristik bursa karbon yang bersifat sukarela menjadikannya kurang efektif dalam meningkatkan kepatuhan atas batasan emisi yang ditetapkan. Hal ini dapat memunculkan praktik semu ramah lingkungan (greenwashing). Selain itu, terdapat potensi penghitungan ganda (double counting) atas kredit karbon dikarenakan belum siapnya regulasi yang transparan atas perdagangan karbon, baik melalui mekanisme pasar maupun nonpasar (OECD, 2014).
Di sisi lain, minat perusahaan untuk masuk ke dalam bursa karbon diprediksi akan meningkat apabila diiringi dengan implementasi pajak karbon. Sampai dengan saat ini, pelaku usaha akan sulit tergerak untuk membeli carbon credit di bursa karbon tanpa adanya pajak karbon (Kristiaji, 2023).
Berdasarkan pada ketiga aspek di atas, terlepas dari motif yang mendasari diimplementasikannya pajak karbon, baik motif lingkungan maupun motif anggaran (budgetair), pemerintah perlu mendesain peraturan turunan pajak karbon. Nantinya, regulasi tersebut diharapkan lebih berfokus pada aspek-aspek mendasar, seperti keadilan, kepastian, dan transparansi.
Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan adanya kompensasi atas dampak negatif yang ditimbulkan kepada kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi. Langkah tersebut diperlukan jika nantinya implementasi pajak karbon memiliki dampak limpahan (spillover effect) terhadap perekonomian di Indonesia.