Head of Digital, Tax Research & Training Services DDTC Gallantino Farman bersama peserta kursus “Tax and Technology Masterclass” yang lain.
AMSTERDAM, DDTCNews -- Inovasi menjadi aspek yang tidak bisa dihindari untuk merespons perubahan rezim pajak global, era transparansi, serta perkembangan lanskap teknologi pajak.
Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan Head of Digital, Tax Research & Training Services DDTC Gallantino Farman mengikuti kursus “Tax and Technology Masterclass”. Kursus yang digelar oleh International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD) ini diadakan langsung di Rietland Park, Amsterdam, Belanda pada 17—18 Juni 2019.
Lantas, bagaimana inovasi mampu menjawab persoalan yang dihadapi oleh otoritas pajak dan wajib pajak? Kali ini, penjabaran atas pertanyaan tersebut dibagi menjadi dua yakni perspektif otoritas pajak dan perspektif wajib pajak.
Perspektif Otoritas Pajak
Julia de Jong dari IBFD menceritakan berbagai adopsi teknologi yang dilakukan oleh otoritas pajak di berbagai negara. Seluruh otoritas menggunakan inovasi teknologi untuk menjalankan digitalisasi administrasi. Selain dalam tataran administrasi, teknologi juga mengubah model bisnis secara radikal. Kedua hal inilah yang menjadi fokus dari otoritas pajak.
Dalam hal administrasi pajak, Julia menjelaskan tren dalam transformasi digital yang dijalankan otoritas pajak. Transformasi itu mulai dari melakukan otomatisasi fungsi pelayanannya pada wajib pajak, mengefisiensikan penggunaan data-data pajak, melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, hingga mengawasi perilaku wajib pajak lebih teliti.
Sebagai contoh, otoritas pajak di Belanda kini sedang gencar melakukan rekrutmen atas data scientists. Di Inggris, sudah mulai ada adopsi Robotic Process Automation (RPA) dan Artificial Intelligence (AI) dalam memberikan pelayanan pada wajib pajak. Selanjutnya, Russia menerapkan analisis big data. Ada pula China yang dinilai berhasil mengintegrasikan berbagai platform digital dalam satu ekosistem yang dapat dijangkau oleh wajib pajak.
Meski demikian,masih ada kawasan – negara-negara di Benua Afrika – yang baru memulai untuk mengadopsi teknologi pajak. Sebagai contoh, otoritas pajak Nigeria baru memperkenalkan pelaporan SPT secara online pada 2018. Bisa dikatakan, sebagian negara-negara di Benua Afrika masih berada pada tahap infant.
Julia menekankan hal-hal yang harus diperhatikan sebelum berinovasi dengan mengadopsi teknologi pajak. Pertama, adopsi teknologi tidak hanya dilakukan di administrasi pajak tetapi juga di seluruh administrasi pemerintahan. Kedua, standar digital legal identifiers. Artinya, dibutuhkan seperangkat tanda pengenal digital yang sah dan akan digunakan ke dalam sistem pajak.
Ketiga, perlindungan privasi serta kerahasiaan data dan informasi wajib pajak. Keempat, risiko-risiko yang mungkin saja muncul terkait cyber-security sehingga otoritas pajak mampu menangkal apabila ada gangguan dalam sistem, seperti phising dan malware.
Perspektif Wajib Pajak
Selanjutnya, Monica Erasmus-Koen dari Taxtimbre memperkenalkan istilah tax sensitization. Apa itu tax sensitization? Monica menjelaskan tax sensitization sebagai sebuah proses teknologi yang memungkinkan wajib pajak untuk mengidentifikasi, memetakan, mengantisipasi, dan memilih reaksi atas berbagai risiko perpajakan.
Berangkat dari ide transparansi pajak, kini industri jasa keuangan pada umumnya dan fungsi pajak khususnya, mulai mengadopsi teknologi pajak. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan melakukan otomatisasi fungsi pajak dengan tujuan menjamin kepatuhan wajib pajak.
Tidak hanya itu, digitalisasi di bidang pajak juga membutuhkan peran taxologist sebagai personel yang dibutuhkan untuk mengotomatisasi fungsi pajak. Meskipun demikian, kehadiran taxologist belum sepenuhnya mampu menjembatani teknologi dengan pajak.
Menurut Bart dari Deloitte, masih ada empat hal yang harus diperhatikan oleh wajib pajak. Pertama, baru 80% keberhasilan otomatisasi sebab wajib pajak harus melalui berbagai trial and error.
Kedua, otomatisasi harus melibatkan diskusi dengan berbagai stakeholders dalam suatu perusahaan. Oleh karena itu, taxologisttidak hanya mampu menguasai pengetahuan pajak dan teknologi, tetapi juga berperan sebagai wadah kolaborasi antarunit.
Ketiga, para taxologist harus memastikan teknologi pajak yang akan diadopsi mampu meminimalkan human error, mudah dan aman. Keempat, relevansi data dalam tiap transaksi menjadi semakin penting bagi taxologist karena akan berimplikasi pada pajak masing-masing orang.
Sekadar informasi, Gallantino Farman menjadi Delegasi DDTC, sekaligus satu-satunya peserta kursus yang berasal dari luar Eropa. Beberapa peserta lainnya berasal dari Polandia, Swiss, Belanda, Luksemburg, dan Prancis. Kursus ini cocok untuk para praktisi di firma pajak, manajer pajak internal perusahaan, dan petugas teknologi pajak.
Keikutsertaan delegasi DDTC dalam kursus masterclass ini merupakan salah satu bagian dari program Human Resource Program Development (HRDP) yang diberikan oleh DDTC kepada para profesionalnya untuk mengikuti berbagai pelatihan, kursus, hingga studi lanjutan di berbagai institusi maupun universitas ternama di dalam maupun luar negeri.*