TAJUK PAJAK

2023, Waktunya Evaluasi Desain Insentif Pajak

Redaksi DDTCNews
Selasa, 10 Januari 2023 | 11.47 WIB
2023, Waktunya Evaluasi Desain Insentif Pajak

BERSAMAAN dengan momentum reformasi yang masih terus berlangsung, tahun ini seharusnya juga dimanfaatkan pemerintah untuk meninjau, bahkan memikirkan desain kebijakan insentif pajak untuk masa mendatang.

Setidaknya ada 3 konteks yang menjadikan 2023 sebagai waktu yang tepat. Pertama, kondisi perekonomian pascapandemi Covid-19. Menurut Collier, et al (2020), terdapat 3 fase krisis dalam kaitannya dengan insentif, yakni mitigasi risiko, pemulihan ekonomi, dan stabilisasi ekonomi.

Kita telah melihat berbagai jenis insentif pajak dalam kerangka program PC-PEN pada 2020, 2021, dan 2022 yang berdampak positif pada upaya penanganan dan mitigasi risiko pandemi. Selain menyangkut kesehatan, insentif yang banyak dimanfaatkan berhubungan dengan likuiditas wajib pajak.

Kini, Indonesia memasuki fase antara pemulihan ekonomi dan stabilisasi ekonomi. Pada fase pemulihan ekonomi, sasaran insentif perlu digeser untuk merangsang permintaan dan produktivitas. Salah satu yang telah dijalankan adalah insentif PPN sektor properti dan PPnBM sektor otomotif.

Sambil terus mengevaluasi insentif tersebut, pemerintah juga perlu memikirkan skema insentif pada fase stabilisasi ekonomi. Pada fase ini, tujuan pembangunan berkelanjutan menjadi fokus kebijakan. Pemerintah perlu memperkuat sistem pajak yang berdaya saing sehingga mendorong investasi.

Sejatinya, sudah banyak jenis insentif yang diarahkan untuk meningkatkan investasi, seperti tax holiday, tax allowance, dan supertax deduction. Namun, evaluasi tetap diperlukan mengingat estimasi belanja perpajakan untuk meningkatkan iklim investasi tercatat lebih rendah dibandingkan tujuan lain.

Terkait dengan konteks kondisi perekonomian pascapandemi Covid-19 tersebut, pemerintah perlu melihat efektivitas masing-masing jenis insentif yang diberikan. Secara paralel, pemerintah juga harus mengatasi permasalahan belum terealisasinya komitmen investasi yang sudah mendapat insentif.

Kedua, rencana implementasi pajak minimum global (global minimum tax) pada 2023. Pajak minimum global—yang berpotensi mengurangi risiko praktik base erosion and profit shifting (BEPS) dan tensi kompetisi pajak—juga akan berdampak bagi skema insentif yang sudah ada.

Dalam buku Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional, DDTC Fiscal Research and Advisory (FRA) mengatakan pajak minimum global ‘menutup mata’ tentang penyebab rendahnya tarif pajak efektif di suatu yurisdiksi.

Sebagai bagian dari proyek BEPS, pajak minimum global seharusnya ditujukan untuk melawan praktik penghindaran pajak, khususnya terkait harmful tax regime. Banyak negara tax haven yang selama ini menerapkan tarif efektif rendah, bahkan 0%, untuk menarik paper profit tanpa substansi ekonomi.

Pada kenyataannya, pajak minimum global akan turut berdampak pada negara berkembang yang sering memberi insentif pajak untuk menarik aktivitas ekonomi riil melalui investasi. Bentuknya juga berupa insentif dan bukan penurunan tarif PPh badan.

Meskipun OECD menyebut penerapan Pilar 2—yang memuat skema pajak minimum global—sebagai common approach, negara yang tidak mengimplementasikan tetap terkena dampaknya. Misalnya, jika tetap menggunakan rezim tarif efektif 0%, tarif minimum 15% akan dikenakan negara asal perusahaan.

Dengan situasi tersebut, pemberian insentif pajak untuk perusahaan multinasional ke depan bisa jadi tidak langsung berkaitan dengan penurunan tarif. Saran OECD mengenai insentif berbasis biaya (cost based incentives) juga bisa dipertimbangkan.

Pada saat bersamaan, pemerintah juga perlu memperkuat faktor-faktor lain nonpajak yang menjadi penarik investasi. Beberapa di antaranya adalah kemanan dan stabilitas politik, kepastian hukum, pasar domestik yang besar, stabilitas makroekonomi, ketersediaan pekerja, serta infrastruktur.

Ketiga, konsolidasi fiskal dan peningkatan penerimaan pajak. Setelah melonggarkan batas defisit anggaran lebih dari 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2020-2022, pemerintah harus kembali menjalankan disiplin fiskal mulai 2023.

Salah satu kebijakan yang perlu dilakukan untuk menjaga, bahkan meningkatkan penerimaan adalah melihat kembali efektivitas dan ketepatan pemberian insentif pajak. Rezim-rezim perpajakan yang berimplikasi pada munculnya revenue forgone—dalam belanja perpajakan—juga perlu ditinjau ulang.

Melihat ketiga konteks tersebut, pemerintah perlu secara cermat melakukan evaluasi dan meracik skema insentif pajak. Riset, termasuk benchmarking negara-negara lain, sangat diperlukan untuk melihat secara komprehensif skema insentif.

Dalam konteks antisipasi pajak minimum global, bisa jadi setiap negara tengah saling melihat respons yang muncul. Namun, upaya mitigasi secara mandiri tetap diperlukan sehingga pemerintah juga bisa memperjuangkan berbagai aspek yang menjadi kepentingan Indonesia.

Jadi, sekali lagi, sudah jelas alasan perlunya melakukan evaluasi dan memikirkan desain insentif pajak yang berkelanjutan pada masa mendatang. Kapan? Tahun ini. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.