Kepala Bapenda DKI Jakarta Mohammad Tsani Annafari. (Foto: Bapenda DKI Jakarta)
JAKARTA, DDTCNews – Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak terhadap penerimaan pajak pemerintah pusat, tetapi juga penerimaan pajak daerah yang dikumpulkan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta.
Pada awal 2021, Bapenda DKI Jakarta melaksanakan banyak program untuk meningkatkan potensi pajak daerah yang dapat dipungut, salah satunya pengayaan data pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dilanjutkan pada tahun ini.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Kepala Bapenda DKI Jakarta Mohammad Tsani Annafari untuk menggali lebih lanjut mengenai rencana kebijakan pajak yang akan dijalankan. Kutipannya:
Bagaimana kinerja penerimaan 2019 dan 2020? Khusus 2019, mengapa realisasi BPHTB bisa sangat jauh dari target?
Realisasi penerimaan pajak daerah untuk 2019 dan 2020 cukup baik. Pada 2019 realisasi pajak daerah mencapai Rp40,3 triliun dari target sebesar Rp44,54 triliun.
Jadi, kurang lebih 90% dari target. Untuk 2020, angka penghitungan sementera tercatat realisasi mencapai Rp31,92 triliun dari target Rp32,48 triliun hasil refocussing anggaran. Jadi, sekitar 98% dari target.
Dari sisi jenis perpajakan, pada 2019 memang realisasi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) jauh dari target. Pada 2020 sesungguhnya juga sama, yakni sebesar Rp4,68 triliun dari target Rp5 triliun.
Jadi, realisasinya baru sekitar 94%. Mengapa selalu BPHTB? Harus diakui, pekerjaan memprediksi penerimaan pajak itu bukan pekerjaan mudah, terutama untuk transaksi yang sifatnya didorong oleh banyak faktor kompleks.
Contohnya, orang membeli properti itu kan didorong oleh banyak hal. Tidak melulu orang punya uang maka beli. Mungkin ada yang butuh uang, dia jual, lalu karena murah maka ada yang beli.
Itu sangat sulit diprediksi sehingga ketika kami melakukan prognosis BPHTB yang merupakan adalah ekses dari transaksi, sering kali memang sulit. Jadi, kegagalan BPHTB itu lebih banyak karena kegagalan kami dalam merumuskan target yang tepat sehingga yang kami rencanakan tidak terjadi.
Apakah kemudian enggak ada effort? Apa effort kita untuk mendorong orang transaksi? Kan juga sulit. Kalau effort dari sisi memberikan kemudahan pelayanan agar orang patuh membayar BPHTB, itu kami lakukan. Potensi BPHTB juga cukup rumit, karena tidak ada transaksi yang lolos BPHTB.
Memang ada case misalnya apartemen sudah dipindahtangankan tapi tidak bayar BPHTB karena pakai PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli), bukan AJB (Akta Jual Beli). Itu ada tetapi secara nilai sangat kecil dan kami sudah lakukan enforcement.
Pada akhirnya, upaya ini tidak banyak membantu kami menaikkan pendapatan BPHTB yang siginifikan. Pada 2020 kami menerbitkan revisi Pergub No. 77/2014 dengan Pergub No. 111/2020 agar compliance BPHTB jadi lebih baik lewat simplifikasi proses pertelaan, tapi tetap saja itu bukan daya dorong untuk meningkatkan capaian BPHTB secara signifikan.
Dalam aspek nonteknis, memang dalam banyak hal kami berada dalam kondisi tidak ideal. Prognosis kami itu di-drive oleh kebutuhan, bukan oleh potret kondisi riil.
Rezim di daerah itu rata-rata didahului oleh berapa uang yang harus dicari. Dalam menyusun APBD itu DPRD akan menyusun kebutuhan belanja berapa baru kemudian disuruh mencari uangnya. Ini kondisi yang tidak ideal tadi.
Seperti apa karakteristik wajib pajak di DKI Jakarta?
Di Jakarta, kepatuhan memang belum cukup optimal. Untuk pajak bumi dan bangunan (PBB), rasio kepatuhannya lumayan bagus, tapi collection rate-nya hanya 66% dari yang tertulis. Artinya, secara umum masih bisa ditingkatkan. Oleh karena itu, kami melakukan perubahan pola pemungutan.
Selama ini, collection rate cenderung rendah karena banyak SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) PBB yang dibagi itu enggak sampai. Itu bukan karena tidak disampaikan, tapi karena objek pajaknya enggak ada atau subjek pajaknya tidak dikenali.
Ini kan tercetak SPPT-nya dan jadi potensi pajak. Sampai sekarang juga tidak ada mekanisme feedback kalau SPPT enggak sampai. Karena itu, kami ubah pakai e-SPPT sehingga mereka proaktif agar kami bisa evaluasi. Ini e-SPPT belum di-download kenapa? Itu contohnya.
Hal ini akan jadi bahan kami untuk melakukan kegiatan penyisiran bersama teman-teman di lapangan. Di sisi lain, kami juga lakukan sensus pajak tahun lalu dan akan jalan lagi tahun ini.
Pada Agustus 2020 itu untuk memetakan seluruh NOP (Nomor Objek Pajak) di Jakarta. Jadi, dari proses itu kami dapat banyak NOP yang enggak ada objeknya atau enggak ada subjeknya. Untuk 2021, kami data, apa saja objek pajak yang ada di atas persil per-NOP itu.
Kami sekarang punya peta NOP seluruh DKI Jakarta, kecuali Kepulauan Seribu. Pada 2022, insyaallah semua sudah ada petanya. Dari pemetaan pada 2020, kami punya fondasi data berupa NOP. Di atas fondasi itu berdiri objek pajak terkait. Pada 2021, yang di atas NOP akan kami cari.
Nah, yang 2021 ini tidak mudah, lebih complicated. Contoh, kalau di-klik bangunan mal, harapannya nanti akan muncul banyak NOP karena ada restoran, pusat hiburan, atau iklan. Ini objek-objek yang di satu titik terkumpul. Kami akan meng-cover semua 13 jenis pajak.
Untuk 2020 hasilnya signifikan. Di tengah Covid-19, mereka enggak peduli zona merah atau hijau mereka mau commit selesaikan sensus pajak daerah sesuai target waktu. Di situ kami tidak hanya menghasilkan data, tapi juga prototype sistem sehingga sistem itu bisa diakses semua pihak.
Misalkan, Anda punya rumah tercatat berlantai 2 padahal enggak, Anda bisa mengajukan perbaikan. Kalau fotonya tidak sesuai maka bisa updating. Jadi, kami harap ke depan ada interaksi antara masyarakat dan Bapenda sehingga data mutakhir.
Setelah pendataan ulang ini, apakah sudah dapat diproyeksikan berapa besaran PBB yang dapat dioptimalkan pada 2021?
Dari pendataan ulang ini, banyak SPPT yang harus kami koreksi. Contoh, di Banjir Kanal Timur, ada tanah yang kami terbitkan SPPT. Ini kan ironis. Terbit tiap tahun dan jadi piutang PBB. Ini kami koreksi. Selain itu, ada juga perubahan pendataan yang hanya bisa diproses setelah penetapan ulang.
Misal, rumah dari 1 lantai jadi 2 lantai perlu penetapan ulang. Dari situ ada kalibrasi bukan hanya kenaikan potensi pajak melainkan juga perbaikan data. Yang kami temukan itu banyak objek nilai yang ternyata overvalued. Waktu kami dikirimi data PBB dari DJP (Ditjen Pajak) dulu kan belum rapi.
Contohnya, ada satu padang golf punya piutang hingga Rp50 miliar. Setelah datanya di-cleansing, ternyata subjek pajaknya enggak ada. Di Ditjen AHU (Administrasi Hukum Umum) enggak ada, di DJP enggak ada. Nah, ini SPPT yang harus kami batalkan karena subjeknya tidak ada.
Harapannya melalui sensus ini limpahan piutang DJP Rp5 triliun itu bisa kami koreksi. Untuk potensi melalui penyelarasan data PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu), kami minta data IMB (Izin Mendirikan Bangunan) nyambung dengan Bapenda, jadi bisa dikoreksi dan kami siapkan untuk 2022.
Bila hasil pendataan ulang PBB lewat sensus belum sepenuhnya meningkatkan potensi, jenis pajak apa yang didorong tahun ini?
DKI Jakarta selalu punya 4 sumber besar, yakni PBB, PKB (pajak kendaraan bermotor), BPHTB, dan BBNKB (bea balik nama kendaraan bermotor). Sejauh ini, kelebihan DKI itu kami punya 2 kantong besar PKB dan PBB. Ini yang menjelaskan kalau insentif kami tidak jor-joran seperti daerah lain.
Saya bilang kita enggak butuh cash flow mendesak seperti daerah lain. Kalau daerah kabupaten/kota kan enggak punya PKB sehingga butuh cash flow. Agar orang bayar akhirnya ada diskon PBB. Karena punya PKB maka kami enggak perlu itu.
Kalau lihat strategi diskon pajak kami, diskon 20% PBB baru diberikan bila enggak punya piutang. Akhirnya, banyak sekali piutang yang terbayar. Ada yang punya piutang sejak 1993 akhirnya membayar.
Jadi, kami dapat setoran 2020 dan piutangnya. Kami berusaha kurangi piutang sehingga kecenderungan untuk tertib meningkat. Ini akan kami edukasi agar track record-nya baik dan collection rate-nya meningkat. Saya harap bisa 80%.
Untuk PKB akan kami dorong dan tegaskan ke masyarakat, jangan lagi berharap ada pemutihan di DKI Jakarta. Kalau Anda enggak bayar maka STNK akan di-freeze. Kami arahkan ke sana. Ini selaras dengan kebijakan transportasi DKI Jakarta yang mendorong orang untuk ke angkutan umum.
Kalau enggak bisa bayar PKB maka jual saja dan naik angkutan umum. Jadi, nanti kepatuhan meningkat. Sesungguhnya, secara jangka panjang, ke depan bukan lagi PKB sumber penerimaan kami karena orang akan didorong ke angkutan umum.
Kalaupun kena PKB itu akan dikenakan ke kendaraan mewah yang dimiliki oleh orang yang benar-benar punya uang. Kami akan kerja sama dengan DJBC (Ditjen Bea dan Cukai) dan DJP agar lebih patuh. Mungkin banyak mobil mewah yang belum didaftar atau banyak yang pajaknya belum betul.
Dalam rilis tahun lalu, Bapenda DKI menyatakan tidak akan merelaksasi kecuali kondisi darurat. Ini berbeda dengan pemda lain. Kenapa?
Saya pikir tidak seperti itu juga. Dalam pajak itu kan ada asas daya pikul. Pajak dikenakan sesuai kemampuan membayar. Di situ ada fungsi pemerataan pajak. Kami bukannya tidak memberikan. Namun, yang kami lakukan itu tidak sesimpel di daerah lain, seperti diskon dan pemutihan.
Contoh paling unik kemarin itu PBB. Di DKI Jakarta, ketika Covid-19, semua minta keringanan. Namun, sesuai asas daya pikul tadi, yang mampu harus membayar, yang enggak mampu dikurangi. Untuk mewujudkan di lapangan sulit karena semua bilang enggak mampu.
Namun, faktanya kami lihat ternyata 60% mampu membayar. Untuk yang enggak mampu lalu minta pembayaran secara angsuran maka kita berikan. Ketika nyicil ini tampak ada niat membayarnya. Jadi, kami bantu.
Kalau ketika mencicil masih tidak bisa membayar dan ternyata tidak punya piutang, baru kami berikan diskon PBB 20%. Jadi yang dapat diskon PBB 20% itu pasti orang yang tidak punya piutang. Ini kami mengedukasi sehingga tidak hanya diskon semuanya.
Ada syaratnya sehingga terwujud pendapatan dalam kaitan dengan optimalisasi dan edukasi wajib pajak. Kalau semua minta keringanan maka enggak ada yang memikul. Lalu nanti siapa yang bayar penanganan Covid-19 ini?
Ini yang harus sama-sama disadari oleh semua wajib pajak. Ini yang kami tanamkan di masyarakat. Masak temannya jatuh sakit, kamu suruh bayar sama dengan yang sehat? Kan enggak dong.
Kalau masalah beda dengan pemerintah pusat yang mengeluarkan tax holiday dan segala macamnya, sebetulnya Pak Gubernur [Anies Baswedan] punya kebijakan yang berfokus ke kelas menengah bawah, misalnya pembebasan PBB untuk rumah dengan NJOP di bawah Rp1 miliar.
Pak Gubernur mendorong ke depan ada threshold yang lebih baik. Misalnya, kalau orang tinggal di DKI Jakarta dengan rumah kebutuhan minimum, ya jangan diganggu sehingga mereka merasa berhak juga tinggal di DKI. Sebenarnya ke sana arahnya, tapi untuk mewujudkan ini butuh waktu.
Kami berharap misalnya ada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Tidak Kena Pajak. Ini sedang kami perjuangkan dengan teman Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (DCKTRP).
Jadi, kalau satu orang punya rumah di DKI untuk satu keluarga dan rumahnya segitu, enggak kena pajak karena itu basic living. Kalau melebihi, kena PBB. Namun, ternyata varian di DKI ini banyak sehingga perlu waktu. Ini harus dihitung betul agar tidak kontraproduktif pada kebutuhan dana.
Tahun ini ada perda pajak parkir dan perda pajak penerangan jalan. Apakah ini untuk mengamankan target pajak 2021 senilai Rp43 triliun?
Pajak penerangan jalan (PPJ) yang kami lakukan adalah kami finalkan MoU dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sehingga mendapat data pelanggan dan mengetahui berapa uang yang kami terima sesuai dengan underlying transaction-nya.
Jadi, di sini upaya kami adalah memastikan underlying dari penerimaan itu jelas. Di perda itu ada tarif progresif. Jadi, di sana dilihat, oh makin mahal, makin besar dong penggunaan listriknya. Ini muaranya ke sana.
Untuk pajak parkir, yang perlu dipahami adalah pajak parkir itu urusan kami dengan pengusaha parkir, bukan dengan yang parkir. Misal tarif Rp5.000, dulu pengelola parkir nyetor ke kita hanya Rp500 karena tarif 10%, sekarang Rp1.500 karena tarifnya 30%.
Nah, kalau itu dianggap tidak menguntungkan, yang terdampak pengelola parkir bukan masyarakat. Kalau omzet parkir itu tetap, ya itu potensi pajaknya bisa naik. Berarti kan otomatis naiknya 3 kali. Kalau omzet turun karena PSBB, ya enggak bisa [menambah potensi].
Atau karena kenaikan biaya parkir lalu ada disinsentif untuk parkir sehingga turun juga omzet mereka dan pendapatan kami. Jadi, itu tidak otomatis. Pajak parkir ini juga bentuk disinsentif untuk mendorong orang naik angkutan umum. Jadi ini fungsi regulerend yang tidak semestinya dibebani target pendapatan berlebihan.
Dengan kenaikan ini justru yang bisa timbul adalah ekses di luar Bapenda. Perda baru dengan tarif 30% yang diikuti kenaikan biaya parkir akan berpotensi menimbulkan luberan dari parkir resmi ke parkir liar sehingga risiko potential loss muncul. Ini perlu diantisipasi Dinas Perhubungan.
UU Cipta Kerja juga turut mengatur pajak daerah. Bagaimana pandangan Pemprov DKI Jakarta mengenai ketentuan ini?
Di daerah itu ada karakteristik khas bernama otonomi. Itu direpresentasikan oleh kepala daerah yang memang sarat dengan kepentingan. Mereka durasi politiknya pendek dan juga ada kebutuhan yang sifatnya jangka pendek.
Memang rawan kalau aturan itu diserahkan sepenuhnya ke daerah sehingga kontrol dari atas itu penting agar tidak keluar koridor. Ada ketentuan setelah screening Kementerian Dalam Negeri, perda pajak juga akan di-screening Kementerian Keuangan.
Ini saya rasa fair saja karena memang Kemenkeu juga berkepentingan. Misal, Kemenkeu memberikan DAU (dana alokasi umum). Itu kan besaran yang ditetapkan dengan asumsi keuangan daerah. Jadi, saya rasa ini hal yang fair.
Bagi saya, kalau ada satu aturan tapi proses untuk menerapkan aturan itu tidak ada, aturan itu sesungguhnya kehilangan rohnya. Saya tidak dalam posisi mendukung atau menentang.
Namun, dalam kaitan ini, daerah adalah kepanjangan tangan pusat dan daerah harus seiring sejalan dengan pusat. Saya berharap tujuan UU Cipta Kerja tercermin di PP dan pelaksanaannya.
Misalnya, gubernur bisa memberikan keringanan pajak lewat pergub. Kalau tidak ada bumper-nya dan tidak terkontrol, bisa jadi masalah. Saya rasa dengan screening bisa membuat tidak eksesif dan konteksnya lebih objektif dan tidak karena kepentingan sesaat.
Saya rasa itu baik. Saya harap nanti pada saat eksekusi semua pihak sadar bahwa perannya masing-masing melakukan kontrol, bukan intervensi. Lalu, semua orang bisa memahami tujuan UU Cipta Kerja sehingga terpenuhi kebutuhan masyarakat. (Kaw/Bsi)