Ilustrasi. Gedung Kementerian Keuangan.
JAKARTA, DDTCNews - UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) memuat tarif minimal sebesar 40% untuk pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu Lydia Kurniawati mengatakan tarif minimal sebesar 40% ditetapkan karena kelima jasa hiburan tersebut perlu dikendalikan konsumsinya.
"Hiburan tertentu tadi pasti dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, bukan masyarakat kebanyakan. Oleh karena itu, untuk memberikan rasa keadilan dalam upaya mengendalikan, dipandang perlu untuk memberikan tarif batas bawahnya," katanya, Selasa (16/1/2024).
Selain itu, lanjut Lydia, penetapan tarif minimal juga diperlukan guna mencegah timbulnya persaingan tarif PBJT jasa hiburan antardaerah.
"Mengapa? Untuk mencegah penetapan tarif yang race to the bottom," ujarnya.
Untuk jasa hiburan dan kesenian yang dikonsumsi masyarakat umum, tarif PBJT atas jasa tersebut ditetapkan maksimal 10%. Tarif tersebut sudah lebih rendah ketimbang tarif pajak hiburan dalam UU 28/2009 tentang PDRD yang maksimal sebesar 35%.
Lydia pun mengeklaim tarif PBJT sebesar 40% hingga 75% atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa sudah sejalan dengan tren tarif pajak hiburan saat UU 28/2009 tentang PDRD masih berlaku.
DJPK mencatat 177 pemda dari total 436 pemda mengenakan pajak hiburan dengan tarif sebesar 40% hingga 75%. Tarif PBJT atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa ditetapkan sejalan dengan rata-rata tersebut.
"Jadi kalau melihat praktik, beberapa daerah sudah menerapkan 40%. Jadi bagi daerah ini bukan sesuatu yang baru," tutur Lydia.
Dia pun berharap pemberlakuan tarif PBJT sebesar 40% hingga 75% atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa dapat meningkatkan local taxing power dan kemandirian fiskal daerah.
Tarif PBJT sebesar 40% hingga 75% atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa menuai protes dari berbagai kalangan. Sebab, tarif tersebut dirasa terlalu tinggi dibandingkan dengan tarif yang berlaku sebelumnya.
Sementara itu, Pemprov Bali juga meminta pemerintah pusat untuk tidak mengategorikan spa sebagai jasa hiburan. Menurut Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Tjok Bagus Pemayun, spa seyogianya dikategorikan sebagai wellness, bukan hiburan.
"Kenapa spa dimasukkan sebagai hiburan? Spa sebenarnya melindungi keunikan balinese spa. Kami khawatir terapis akan diambil oleh orang luar nanti. Kami ingin agar orang-orang tetap ingin mencari pengalaman spa di Bali," kata Pemayun. (rig)