Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ahli dari pihak pemerintah dalam sidang uji materiil UU 1/2022, Wakil Rektor II Universitas Andalas Hefrizal Handra menilai tarif pajak yang lebih tinggi atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa tidaklah diskriminatif.
Hefrizal mengatakan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa karaoke, diskotek, bar, kelab malam, dan mandi uap/spa bukan kebijakan diskriminatif lantaran tidak ditujukan untuk kelompok masyarakat tertentu, tetapi untuk mereka yang mengonsumsi kelima jasa tersebut.
"Memang pada akhirnya harga yang tinggi akan menyebabkan konsumen yang menggunakan akan tersegmentasi kepada kelompok yang punya kemampuan bayar. Namun, itu tidak dapat dianggap sebagai tindakan diskriminatif," katanya di hadapan MK, dikutip pada Rabu (11/9/2024).
Bila tarif PBJT sebesar 40% hingga 75% atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa dipandang bersifat diskriminatif, pengenaan PPnBM dengan tarif tinggi yang selama ini diberlakukan oleh pemerintah pusat juga bisa dianggap diskriminatif.
Tak hanya itu, pengenaan PPh dengan tarif yang lebih tinggi terhadap mereka yang berpenghasilan tinggi juga bisa dianggap diskriminatif.
Hefrizal pun menekankan perbedaan tarif tidak bisa dianggap sebagai diskriminasi karena salah satu tujuan pajak ialah untuk meredistribusikan pendapatan dari orang kaya ke orang miskin.
Lebih lanjut, dia menilai pengenaan PBJT dengan tarif yang lebih tinggi di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa sudah memenuhi konsep keadilan vertikal. Dengan konsep ini, kelompok yang memiliki ability to pay lebih tinggi perlu dikenai pajak dengan tarif lebih tinggi.
Mengingat jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi, bukan masyarakat umum maka pengenaan PBJT dengan tarif 40% - 75% atas 5 jasa tersebut sudah memenuhi konsep keadilan vertikal.
"Konsumen jenis jasa ini adalah masyarakat berpenghasilan menengah dan tinggi sesuai dengan jenis jasa yang merupakan kebutuhan sekunder, bahkan tersier, dan bukan kebutuhan primer masyarakat," tutur Hefrizal. (rig)