JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah perlu mengkalibrasi ulang ketentuan perpajakannya seiring dengan bakal diterapkannya pajak minimum global dalam Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE). Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Rabu (25/9/2024).
Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono memandang Indonesia memerlukan reformasi yang komprehensif dalam menerapkan pajak minimum global. Sebab, Pilar 2 akan membuat Indonesia tidak bisa lagi bergantung pada insentif pajak untuk menarik investasi asing.
"Pemerintah harus mengkalibrasi ulang sistem pajaknya untuk menyeimbangkan antara daya tarik investasi asing dan memastikan keadilan pajak," katanya.
Thomas menuturkan negara-negara di dunia selama beberapa dekade terakhir ini telah bersaing untuk menurunkan tarif pajaknya guna menarik investasi. Namun demikian, persaingan ini sering kali harus mengorbankan stabilitas ekonomi.
Sejak 1980, tarif pajak badan rata-rata global telah turun dari 40,18% menjadi 23,45% pada 2023. Meskipun efektif menarik investasi, tren penurunan tarif pajak tersebut juga mengurangi pendapatan negara yang dibutuhkan untuk infrastruktur, layanan kesehatan, dan program bantuan sosial.
Untuk itu, Thomas menilai kebijakan pajak yang kuat sangat penting guna mendukung layanan publik dan mendorong pemulihan ekonomi. Seluruh negara pun perlu bersama-sama mengatasi persaingan tarif pajak yang tidak sehat guna melindungi basis pajak masing-masing.
Negara-negara OECD/G-20 Inclusive Framework on BEPS telah bekerja sama untuk memberikan solusi melalui Solusi 2 Pilar (Two-Pillar Solution).
Selain insentif pajak, ada pula ulasan mengenai target rasio perpajakan (tax ratio) pada tahun depan. Ada pula ulasan mengenai simulator coretax administration system DJP, pajak minimum global, dan proyeksi penerimaan pajak pada tahun ini.
Inisiatif Pilar 2 hadir sebagai respons terhadap fenomena race to the bottom sehingga diusulkan pajak minimum global sebesar 15% untuk menyamakan kedudukan dan mencegah pengalihan laba ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah.
Menurut Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono, Pilar 2 bukan hal yang bersifat opsional bagi Indonesia karena insentif pajak yang mengarah pada tarif pajak efektif di bawah 15% akan memungkinkan yurisdiksi lain mengeklaim hak pemajakan melalui top-up tax atas laba yang kurang dipajaki.
Berdasarkan analisis dampak di Indonesia, penerapan pajak minimum global akan menghasilkan tambahan pendapatan pajak sekitar Rp3,8 hingga Rp8,8 triliun, terutama melalui top-up tax yang memenuhi syarat. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan)
Kementerian Keuangan berencana untuk segera menyelesaikan peraturan menteri keuangan (PMK) terkait dengan implementasi pajak minimum global. PMK yang dimaksud ditargetkan selesai pada tahun depan.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan PMK tersebut bakal memuat ketentuan subject to tax rule (STTR), qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT), dan income inclusion rule (IIR).
"Drafnya saat ini saja sudah lebih dari 200 halaman, materinya juga berat. Belum lagi nanti harus jelaskan ke Kemenkumham. Jadi, kami butuh waktu, tidak bisa cepat. Namun, arahan pak dirjen pajak paling lambat terbit 2025," katanya. (DDTCNews)
Ditjen Pajak (DJP) menyediakan simulator sebagai sarana edukasi coretax administration system kepada wajib pajak.
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan edukasi coretax menggunakan simulator dilaksanakan dengan berbasis internet. Cakupan wajib pajak yang bakal mendapatkan edukasi pun menjadi lebih luas ketimbang metode sebelumnya yang memakai intranet.
"Simulasi kami coba buka melalui internet dan media aplikasinya pun kami siapkan di DJP Online," katanya. (DDTCNews)
Kehadiran pajak minimum global memberikan momentum bagi pemerintah Indonesia untuk kembali mengevaluasi insentif-insentif pajak yang berlaku selama ini.
Berdasarkan catatan International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD), insentif-insentif pajak yang diberikan oleh Indonesia masih bersifat tumpang tindih antara satu dengan yang lain.
"Insentif pajak masih tumpang tindih antara satu dan yang lain. Kompleksitasnya luar biasa. Insentif-insentif ini terkadang juga direncanakan secara terpisah," ujar Director Capacity Building and Tailored Services IBFD Victor van Kommer. (DDTCNews)
Pelaksanaan berbagai strategi peningkatan rasio perpajakan dinilai perlu untuk memperhatikan hak-hak wajib pajak.
Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan pemenuhan hak wajib pajak semestinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mengoptimalkan penerimaan perpajakan.
"Jangan sampai dalam upaya optimalisasi penerimaan pajak ini, kita tidak memiliki strategi untuk meningkatkan keadilan dan pemenuhan hak-hak wajib pajak," katanya. (DDTCNews)
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan pihaknya akan berupaya untuk merealisasikan penerimaan pajak pada outlook APBN 2024 yang ditetapkan senilai Rp1.921,9 triliun, 96,6% dari target senilai Rp1.988,9 triliun.
"Kami akan full force untuk melakukan kegiatan supaya capaian penerimaan pajak dapat sesuai dengan outlook yang diharapkan," katanya.
Sebagai informasi, realisasi penerimaan pajak baru Rp1.196,54 triliun hingga Agustus 2024. Capaian tersebut setara dengan 60,16% dari target pada tahun ini senilai Rp1.989 triliun. (DDTCNews)