Pemilik usaha menimbang kerupuk kulit yang akan dijual ke pasar di sebuah UMKM rumahan, Kecamatan Dumai Kota, Dumai, Riau, Minggu (6/10/2024). Dalam mengembangkan bisnisnya pemilik usaha kerupuk kulit tersebut mendapat tambahan modal KUR dari sebuah bank pemerintah sehingga berhasil meningkatkan produksi selain untuk memasok ke warung dan rumah makan ia juga mampu secara mandiri menjual lansung produknya ke pasar dengan harga Rp190 ribu per kg dan yang mentah Rp95 ribu per kg. ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/aww.
JAKARTA, DDTCNews - Di sekitar Anda mungkin dengan mudah ditemui pedagang makanan, usaha warung makan, atau gerai toko pakaian. Sebagian besar dari mereka tergolong ke dalam pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Pernahkah tebersit di benak Anda, apakah pelaku usaha kecil-kecilan seperti itu tetap perlu membayar pajak? Ternyata, pemerintah menetapkan batasan omzet usaha yang tidak dikenai pajak. Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) orang pribadi dengan peredaran bruto usaha sampai dengan Rp500 juta, tidak dikenai pajak penghasilan (PPh).
Ditjen pajak (DJP) menjelaskan implementasi kebijakan ini merupakan bentuk dukungan untuk mendorong pertumbuhan sektor UMKM. Dengan tidak adanya beban pajak, UMKM diharapkan dapat lebih berfokus pada pengembangan usaha dan peningkatan kualitas produk.
“Pengusaha UMKM orang pribadi dengan omzet di bawah Rp500 juta setahun tidak kena pajak. Kebijakan ini adalah bentuk dukungan pemerintah agar UMKM dapat terus tumbuh dan berkembang tanpa beban pajak yang memberatkan,” tulis DJP melalui akun media sosial, dikutip pada Sabtu (19/10/2024).
Sesuai dengan PP 55/2022, UMKM yang memiliki omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun dapat memanfaatkan tarif PPh final UMKM sebesar 0,5% dari penghasilan bruto. Kemudian, untuk UMKM yang omzetnya belum mencapai Rp500 tidak perlu membayar PPh final tersebut.
Perlu diperhatikan, untuk wajib pajak orang pribadi, penggunaan tarif ini hanya berlaku dalam jangka waktu 7 tahun. Oleh karena itu, bagi wajib pajak yang telah menggunakan skema ini sejak 2018, 2024 merupakan tahun terakhir wajib pajak dapat menerapkan skema ini.
Setelah masa penggunaan skema ini berakhir, wajib pajak memiliki 2 opsi penghitungan pajak yang bisa dimanfaatkan. Pertama, melakukan pembukuan. Kedua, tetap melakukan pencatatan dan menggunakan skema norma penghitungan penghasilan neto (NPPN).
Melalui skema NPPN, besar pajak penghasilan neto dihitung dengan mengalikan persentase NPPN dengan peredaran bruto dari kegiatan usaha dalam 1 tahun pajak.
Setelah itu, hasil perkalian tersebut dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk mendapatkan jumlah penghasilan kena pajak (PKP). Besaran PPh terutang kemudian dihitung dengan cara mengalikan PKP dengan tarif umum Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh s.t.d.t.d UU HPP.
Apabila memilih menyelenggarakan pembukuan, besaran pajak yang dibayar akan berdasarkan laba yang diperoleh dan membayar angsuran sesuai dengan PPh Pasal 25.
Bagi wajib pajak UMKM yang memilih menggunakan skema NPPN, sesuai dengan PMK 54/2021, wajib menyampaikan pemberitahuan kepada DJP paling lambat 3 bulan setelah tahun pajak berjalan. Jika tidak disampaikan, wajib pajak UMKM orang pribadi harus melakukan pembukuan.
Menurut Undang-Undang (UU) 20/2008 tentang UMKM, usaha mikro didefinisikan sebagai usaha produktif milik perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria sebagai usaha mikro. Kriteria-kriteria tersebut kemudian diatur dalam Pasal 35 dan 36 peraturan pemerintah (PP) 7/2021.
Usaha mikro adalah usaha yang memiliki modal usaha mencapai Rp1 miliar rupiah, tidak termasuk bangunan dan tanah tempat usaha, serta hasil penjualan usaha setiap tahunnya tidak melebihi Rp2 miliar.
Kemudian usaha kecil, merupakan usaha yang memiliki modal lebih dari Rp1 miliar sampai dengan Rp5 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Usaha kecil memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2 miliar sampai Rp15 miliar rupiah.
Selanjutnya, untuk dapat dikategorikan sebagai usaha menengah, usaha harus memiliki modal lebih dari Rp5 miliar sampai dengan Rp10 miliar rupiah, serta harus memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp15 miliar dengan batas ambang maksimal Rp50 miliar rupiah. (sap)