Ilustrasi. sumber: iStock
JAKARTA, DDTCNews - Multilevel marketing (MLM) masih menjadi pekerjaan sampingan yang cukup populer bagi masyarakat. MLM adalah suatu sistem penjualan secara langsung kepada konsumen yang dilakukan secara berantai oleh orang-perorang sebagai distributor perusahaan MLM.
Pada prinsipnya, perusahaan MLM adalah struktur dengan semua anggotanya adalah distributor dari perusahaan MLM. Untuk memperluas jaringan distributor maka distributor tingkat pertama yang berperan sebagai distributor sponsor (up-line) dapat menarik distributor tingkat dua yang disponsorinya (downline) demikian seterusnya (SE-39/PJ.43/1999).
Ringkasnya, perusahaan dengan skema MLM mendorong distributor yang sudah ada untuk merekrut distributor baru (downline). Nantinya, distributor akan mendapat keuntungan berdasarkan persentase penjualan mereka dan penjualan distributor yang mereka rekrut (downline) (Tarver, 2024).
Dalam ketentuan perpajakan, mitra usaha MLM disebut sebagai distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya. Secara umum, mitra usaha MLM di antaranya memperoleh penghasilan dari 2 sumber.
Pertama, penghasilan dari selisih harga antara harga distributor dengan harga yang dianjurkan perusahaan MLM untuk konsumen nonanggota (keuntungan dari penjualan barang secara langsung). Kedua, rabat atau komisi dari perusahaan MLM, seperti dari pengembangan jaringan usaha MLM.
Nah, penghasilan berupa rabat atau komisi merupakan penghasilan yang terutang dan harus dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Pemotongan PPh Pasal 21 tersebut menjadi kewajiban perusahaan MLM.
Merujuk Pasal 3 ayat (2) huruf ‘l’ Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 168/2023, pemotongan PPh Pasal 21 atas komisi yang didapat oleh mitra usaha MLM dari perusahaan MLM dipotong PPh Pasal 21 sebagai bukan pegawai.
Dengan demikian, perhitungan PPh Pasal 21 per masa pajak atau per pembayaran komisi tersebut dihitung dengan formula (Penghasilan bruto x 50%) x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) ‘a’.
Contoh, Sofia menerima komisi penjualan sebagai mitra usaha MLM dari PT Sentosa senilai Rp25.000.000 pada Juli 2024. Dengan demikian, PPh Pasal 21 Masa Pajak Juli 2024 dihitung sebagai berikut:
(Penghasilan bruto x 50%) x Tarif PPh Pasal 17 = (Rp25.000.000 x 50%) x Tarif PPh Pasal 17 = Rp12.500.000 x 5% = Rp625.000
Atas pemotongan tersebut, sofia berhak menerima bukti potong PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final (Formulir 1721-VI) untuk setiap pemotongan yang dilakukan oleh PT Sentosa. Berdasarkan Perdirjen Pajak No. PER-2/PJ/2024, kode objek PPh Pasal 21 yang digunakan oleh pemotong adalah 21-100-04.
Kendati telah dilakukan pemotongan oleh PT Sentosa, Sofia sebagai mitra usaha MLM juga memiliki kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Terkait dengan penghitungan PPh terutang pada SPT Tahunan, mitra usaha MLM berhak menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN).
Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Dirjen No. SE-100/PJ/2009. Apabila mitra usaha MLM memilih menggunakan NPPN maka PPh terutang pada SPT Tahunan PPh orang pribadi dihitung sebagai berikut:
Misal, Sofia merupakan mitra usaha MLM dari PT Sentosa. Sofia tinggal di Jakarta dan telah memberitahukan penggunaan NPPN kepada KPP terdaftar pada 19 Februari 2024. Sepanjang 2024, total komisi yang diterima Sofia dari PT Sentosa adalah senilai Rp300.000.000
Sofia tidak memiliki sumber penghasilan lain. Sofia belum menikah dan tidak memiliki tanggungan (TK/0). Sofia menerima 12 bukti potong PPh Pasal 21 dari PT Sentosa dengan nilai total Rp7.500.000. Sebelum menghitung PPh terutang dengan NPPN, perlu diketahui terlebih dahulu persentase norma yang berlaku.
Adapun persentase NPPN yang dapat digunakan mengacu pada Perdirjen Pajak No. PER- 17/PJ/2015. Namun, perdirjen tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit KLU serta norma yang berlaku untuk mitra usaha MLM.
Guna mengetahui KLU yang tepat, wajib pajak di antaranya bisa meminta penegasan pada KPP terdaftar. Untuk mempermudah, dalam ilustrasi ini digunakan KLU 96999 (Jasa Perorangan Lainnya yang Tidak Dapat Diklasifikasikan Di Tempat Lain). Adapun persentase norma untuk KLU 96999 di Jakarta adalah 50%.
Berikut perhitungan PPh terutang pada SPT Tahunan PPh menggunakan NPPN beserta PPh kurang/lebih bayarnya:
(sap)