Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam International Conference on Digital Transformation in Customs 2021, Selasa (16/3/2021). (tangkapan layar Youtube)
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap setidaknya ada 4 alasan pemerintah harus mengatur transaksi digital, terutama yang dilakukan melewati lintas batas negara.
Sri Mulyani mengatakan pengaturan soal transaksi digital tersebut salah satunya dari sisi perpajakan, baik pajak maupun kepabeanan dan cukai. Dia menyebut alasan pertama pentingnya pengaturan itu dikarenakan setiap transaksi yang keluar atau masuk Indonesia belum tercatat secara baik.
"Kami berharap peraturan transaksi barang melalui sistem digital pada layanan kepabeanan bisa memberikan statistik perdagangan yang lebih akurat," katanya dalam International Conference on Digital Transformation in Customs 2021, Selasa (16/3/2021).
Sri Mulyani mengatakan data statistik perdagangan lintas negara yang akurat juga akan membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan mengenai transaksi digital tersebut.
Alasan kedua yakni transaksi secara digital dianggap lebih berisiko. Hal ini dikarenakan transaksi berpotensi dimanfaatkan untuk kegiatan ilegal atau penyalahgunaan barang yang dibeli secara ilegal. Sri Mulyani memberi contoh adanya mesin cetak 3D yang saat ini populer dan terjangkau bagi masyarakat.
Menurutnya, teknologi mesin cetak 3D dapat digunakan untuk membuat barang berbahaya, seperti senjata api atau senjata mematikan lainnya, hanya dengan cetak biru yang ditransmisikan secara digital.
Risiko lainnya mengenai penghindaran pajak, pelanggaran hak kekayaan intelektual, serta kejahatan transnasional berupa pencucian uang. Dengan berbagai risiko tersebut, menurutnya, pengawasan di berbagai pintu masuk menjadi makin penting.
Alasan ketiga, pengaturan transaksi digital akan memberikan perlakuan yang sama atau level playing field bagi semua pengusaha. Sri Mulyani mengaku sering menerima keluhan mengenai perlakuan pajak yang tidak adil antara transaksi barang fisik dengan metode kerja konvensional serta barang digital dengan aktivitas bisnis menggunakan teknologi digital.
Menurutnya, masalah itu menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk mengenakan pajak yang wajar bagi semua pelaku usaha. Oleh karena itu, layanan film dan game online kini juga dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN), sama seperti membeli atau mengimpor buku secara fisik.
Pemerintah saat ini juga ikut mengupayakan konsensus pengenaan pajak digital bisa segera tercapai. Dengan konsensus itu, negara tidak hanya bisa memungut PPN, melainkan juga menarik pajak penghasilan dari perusahaan penyedia layanan digital.
Alasan terakhir, pengaturan transaksi digital akan menekan potensi penerimaan negara yang hilang. "Pemerintah harus menyesuaikan untuk hal yang baru ini dan juga menghadirkan kebijakan yang lebih efisien dan sederhana untuk semua pemain," ujarnya. (kaw)