Sovia Devi Rahmawaty,
UNTUK mewujudkan tujuan nasional yang telah diamanatkan dalam UUD 1945, Indonesia harus melaksanakan pembangunan yang mandiri, sejahtera, dan berkeadilan. Sebagai negara kesatuan, Indonesia perlu mewujudkan tujuan nasional untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Dalam hal ini, pemerintah berperan penting sebagai fasilitator dan dinamisator.
Peran pemerintah dalam pembangunan tersebut diwujudkan melalui berbagai kebijakan dan terobosan baru, salah satunya di bidang pajak. Kebijakan yang efektif dalam pengelolaan pajak, baik di tingkat pusat maupun daerah, memiliki peran krusial dalam meningkatkan pendapatan negara. Hal ini dikarenakan pajak masih mendominasi pendapatan negara.
Meskipun kontribusi penerimaan pajak terhadap pendapatan negara cukup besar, rasionya terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio Indonesia masih rendah. Dalam Revenue Statistics in Asia and the Pacific (OECD, 2024), tax ratio Indonesia pada 2022 sebesar 12,1%. Capaian ini lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tax ratio Asia Pasifik (19,3%), bahkan anggota OECD (34,0%).
Rendahnya tax ratio Indonesia mengindikasikan masih rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak. Hal tersebut juga menunjukkan masih ada potensi penerimaan negara yang bisa dioptimalkan jika tingkat kepatuhan wajib pajak ditingkatkan lagi. Selain itu, diperlukan pula upaya untuk menggali sumber-sumber baru penerimaan pajak yang dapat mendiversifikasi basis pajak di Indonesia.
Upaya peningkatan pendapatan negara yang dihimpun pemerintah pusat seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah daerah. Terlebih, selama ini, sebagian pajak yang dihimpun pemerintah pusat pada akhirnya menjadi dana transfer ke daerah. Hingga saat ini, pendapatan daerah juga masih bergantung pada dana transfer tersebut.
PADA saat yang sama, pemerintah daerah juga perlu untuk mendongkrak penerimaan pajak di wilayahnya masing-masing. Mengapa? Karena ketergantungan pada dana transfer itu juga dapat dilihat dari sisi belum optimalnya pendapatan asli daerah (PAD), termasuk di dalamnya berupa penerimaan pajak daerah. Optimalisasi PAD dapat dilakukan dengan empat strategi.
Pertama, penguatan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Strategi ini menjadi salah satu kunci untuk mendongkrak penerimaan pajak. Desentralisasi fiskal dan otonomi daerah merupakan wujud kebijakan pemerintah pusat yang memberikan hak expenditure assignment dan revenue assignment kepada pemerintah daerah. Namun, sinergi pusat dan daerah harus tetap berjalan.
Hadirnya Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) diharapkan dapat mengurangi ketimpangan fiskal vertikal maupun horizontal, memperkuat local taxing power, meningkatkan kualitas desentralisasi fiskal, sekaligus memperkuat harmonisasi belanja antara pusat dan daerah.
Kedua, penerapan teknologi dan sistem yang terintegrasi dalam pemungutan pajak. Dalam konteks globalisasi, langkah ini menjadi suatu keharusan. Pemerintah perlu membangun sistem berbasis web (online web based system) yang terintegrasi untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan pelaporan dan pembayaran pajak.
Dengan adanya sistem tersebut, masyarakat akan merasa lebih terbantu dan tidak akan lagi beralasan bahwa kewajiban perpajakan di Indonesia rumit dan memakan waktu lama. Di sisi lain, otoritas juga akan diuntungkan karena otomatisasi administrasi yang terintegrasi akan menyederhanakan pekerjaan.
Adapun pemerintah pusat telah mengembangkan coretax administration system (CTAS) sebagai bagian dari transformasi digital dalam reformasi perpajakan di Indonesia. Sistem ini juga seharusnya turut terintegrasi dengan pemerintah daerah. Dengan adanya integrasi, pertukaran data juga dimungkinkan sehingga penerimaan pajak baik di pusat maupun di daerah lebih optimal.
Ketiga, penggalian dan peningkatan sumber-sumber PAD serta pertumbuhan ekonomi daerah. Terdapat dua pendekatan utama dalam strategi ini, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber PAD.
Intensifikasi berfokus pada optimalisasi penerimaan pajak dari subjek pajak yang sudah terdaftar. Misalnya, pemberian insentif fiskal, seperti pemutihan pajak daerah bagi kendaraan pribadi. Dalam memberikan insentif ini, pemerintah daerah harus mematuhi ketentuan Pasal 99 UU HKPD.
Intensifikasi juga bisa berupa pemberian reward kepada wajib pajak yang berkontribusi dengan baik dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka. Adapun bentuk reward yang dimaksud seperti mempermudah izin usaha atau memberikan hadiah bagi wajib pajak dengan pembayaran tertinggi.
Di sisi lain, intensifikasi juga dapat berwujud pengetatan sanksi (punishment) bagi wajib pajak yang melanggar atau tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Artinya, intensifikasi berjalan seimbang karena ada treatment yang tepat, baik untuk wajib pajak yang patuh maupun tidak patuh.
Sementara itu, ekstensifikasi bertujuan untuk memperluas basis wajib pajak dengan menargetkan individu atau entitas baru yang memiliki potensi untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.
Keempat, realisasi proyek strategis nasional (PSN). Banyaknya PSN yang sedang digencarkan oleh pemerintah untuk mempercepat pembangunan di berbagai wilayah Indonesia berpotensi meningkatkan sumber PAD sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Salah satu objek pajak terkait dengan PSN misalnya alat berat yang digunakan dalam proyek-proyek tersebut.
Selain itu, keberadaan PSN yang berhasil diwujudkan juga berdampak pada tingkat migrasi penduduk. Sebagai contoh, di Kalimantan, daerah yang dulunya hanya berupa hutan hijau kini telah bertransformasi menjadi Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI). Hal ini akan menarik minat investor dan penduduk untuk bermigrasi ke wilayah tersebut.
Dengan demikian, peningkatan potensi PAD di masa mendatang, terutama dari sektor pajak, dapat dioptimalkan. Oleh karena itu, regulasi pemerintah yang bertujuan untuk membidik dan memperluas objek pajak baru sangat diperlukan agar peningkatan PAD, khususnya dari sektor pajak, dapat terwujud secara efektif.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.