Rajwa Ryanda Arkananta,
LIMA bulan terakhir badai deflasi tengah menghantam Indonesia. Kondisi tersebut sekaligus memberi gambaran pelemahan daya beli masyarakat yang terlihat dari tren deflasi pada Mei hingga September 2024, yakni masing-masing 0,08%, 0,03%, 0,18%, 0,03%, dan 0,12% (Badan Pusat Statistik, 2024).
Situasi tersebut sejatinya merupakan alarm bagi perekonomian nasional, khususnya pada masa transisi pemerintahan, dari kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Presiden Prabowo Subianto. Rendahnya daya beli berpengaruh terhadap inflasi, neraca perdagangan, hingga perlambatan ekonomi secara keseluruhan.
Pada momentum yang sama, munculnya aset digital seperti cryptocurrency dan token digital menawarkan alternatif bagi masyarakat untuk melindungi kekayaan mereka dari depresiasi mata uang dan inflasi. Lambat laun, aset digital mulai mengambil alih peran aset fisik sebagai penyimpan kekayaan yang aman, terdesentralisasi, dan tidak melekat pada yurisdiksi suatu negara.
Karenanya, popularitas aset digital dipandang oleh banyak yurisdiksi sebagai sumber penerimaan negara yang potensial. Hal ini dapat dilihat dari membludaknya total investor kripto di Tanah Air, yakni sebanyak 20,24 juta investor per Juni 2024. Angka tersebut berhasil menyalip total investor saham yang hanya berkisar 13 juta pada periode yang sama (Otoritas Jasa Keuangan, 2024).
Dalam lingkup regulasi di Indonesia, melalui PMK 68/2022, pemerintah telah mengatur aspek perpajakan atas aset digital, baik cryptocurrency maupun nonfungitable token. Sejatinya, atas aset tersebut telah dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) dengan dasar pengenaan pajak (DPP) besaran tertentu dan pajak penghasilan (PPh) atas tambahan kemampuan ekonomis yang diterima penjual aset kripto, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE), atau penambang aset kripto.
PMK tersebut dapat dilihat sebagai langkah serius pemerintah dalam memberikan kepastian hukum dalam lingkup aset digital. Meskipun begitu, dalam perkembangannya banyak pihak yang mengkhawatirkan pemajakan atas aset digital tersebut justru akan menghambat pertumbuhan industri digital.
Oleh karena itu, penulis mengingatkan terdapat beberapa isu fundamental yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah terkait dengan pengenaan pajak atas aset digital di tengah melemahnya daya beli masyarakat.
Pertama, penurunan likuiditas dan daya beli. Pengenaan pajak, pada umumnya, akan berdampak terhadap penurunan daya beli masyarakat. Hal ini disebabkan tarif pajak yang tinggi memiliki kecenderungan untuk membuat masyarakat enggan berinvestasi atau memperdagangkan aset digital mereka. Dampaknya, likuiditas dan harga komoditas yang anjlok di pasaran.
Risiko penurunan likuiditas aset digital tecermin pada rendahnya likuiditas bitcoin sebagai kiblat harga pasaran kripto. Rendahnya likuiditas bitcoin ini terlihat dari rendahnya volume perdagangan bitcoin pada beberapa bulan terakhir, yang berujung pada terjadinya over supply bitcoin di pasaran.
Tampaknya, situasi tersebut berpotensi berlanjut jika kebijakan perpajakan yang ketat masih diterapkan. Penulis melihat efek domino pun dapat terjadi terhadap pasar modal dalam negeri. Sebab, banyak investor lokal yang juga mendiversifikasi aset mereka di perdagangan kripto dapat terancam karena rendahnya likuiditas dan tren bearish yang kian terjal.
Kedua, kebijakan fiskal yang ekspansif dan volatilitas global. Regulasi pajak terkait dengan aset digital dinilai tidak mampu untuk mengamankan volatilitas kripto dan NFT di titik keseimbangannya. Kebijakan pajak yang ada hanya memberikan kepastian hukum bagi pemerintah untuk berwenang memungut pajak atas transaksi digital tersebut.
Dari sisi investor, kebijakan pajak yang ada belum mampu memberikan manfaat yang konkret terhadap nilai dan tren aset digital di pasar lokal. Hal ini terlihat dari masih lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US$) yang mengindikasikan masih banyaknya investor lokal yang menggunakan platform jual-beli atau tukar-menukar aset digital di luar negeri. Ditambah lagi, penerapan kebijakan fiskal dalam negeri yang kontraktif akan menambah volatilitas pasar aset digital secara global. Hal ini diperparah dengan kebijakan moneter suku bunga AS yang ekspansif.
Jika tidak diatasi dengan serius, masalah tersebut akan mengancam industri dalam negeri karena perputaran uang yang keluar dan tidak terserap di dalam negeri. Infrastruktur kripto dan NFT juga dapat kandas jika pemerintah tidak dapat merumuskan kebijakan pajak yang ekspansif dengan harapan dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Pada akhirnya, pemajakan atas aset digital justru berpotensi menekan daya beli masyarakat dan mendorong deflasi ke titik yang lebih dalam. Mengingat industri tersebut masih tergolong awal dan rentan terhadap perubahan kebijakan, penulis beranggapan perlu adanya tinjauan kebijakan yang memperhatikan esensi dari aset digital tersebut secara supranasional.
Dengan kata lain, kebijakan yang ada harus dapat menjawab tantangan dalam perkembangan industri aset digital global yang berada dalam musim volatilitas, serta persiapan menuju akhir periode crypto winter yang diprediksi terjadi di pengujung 2024. Kondisi daya beli investor yang sedang melemah juga menambah pentingnya desain kebijakan pajak sebagai salah satu instrumen pemerintah dalam meningkatkan kemampuan beli masyarakat dan menggenjot perekonomian nasional. (sap)
*Tulisan ini berhasil menyabet Juara I dalam lomba menulis bertajuk Article Writing Fair. Lomba yang khusus menyasar mahasiswa dan pelajar SMA/sederajat ini merupakan rangkaian pre-event Taxplore 2024 yang digelar oleh Kelompok Studi Ilmu Administrasi Fiskal (Kostaf) Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) bersama dengan DDTCNews.