KEBIJAKAN PAJAK

Membatasi Kekuasaan Negara dalam Mengenakan Pajak

Redaksi DDTCNews
Selasa, 11 April 2017 | 10.51 WIB
Membatasi Kekuasaan Negara dalam Mengenakan Pajak

PENERIMAAN negara dari sektor pajak merupakan penerimaan yang paling diharapkan oleh pemerintah saat ini. Karenanya, pemerintah dengan kekuasaan yang dimilikinya akan berusaha untuk memaksimalkan penerimaan dari sektor pajak.

Akan tetapi, Buchanan dan Milton Friedman sebagaimana dikutip oleh Philippe Vitu mengatakan dalam negara yang demokratis dan berdasarkan hukum, kekuasaan untuk mengenakan pajak harus dibatasi (limits on the taxing power) melalui undang-undang.

Persoalan tersebut diulas secara tajam dalam buku berjudul Membatasi Kekuasaan untuk Mengenakan Pajak, yang ditulis dua pakar pajak di Indonesia, Darussalam dan Danny Septriadi.

Buku ini menyoroti seputar kontroversi yang dikeluhkan oleh banyak pihak tentang besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah untuk mengenakan pajak. Buku ini mencoba membahas kontroversi tersebut dari aspek kebijakan hukum dan administrasi perpajakan, serta membandingkannya dengan negara lain.

Pada bab I buku ini disebutkan bahwa hampir semua negara secara tegas mencantumkan kekuasaan pengenaan pajak dalam konstritusinya atau Undang-Undang Dasar. Di Belgia, kekuasaan pengenaan pajak diatur dalam Pasal 170, Meksiko Pasal 31, Italia Pasal 23, Prancis Pasal 34, Portugal Pasal 107, dan Spanyol Pasal 133.

Di Indonesia sendiri, kekuasaan negara untuk mengenakan pajak diatur dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang. Pasal tersebut memberikan kekuasaan kepada lembaga legislatif (DPR) untuk mengatur pengenaan pajak melalui undang-undang pajak.

Secara umum, pembatasan kekuasaan pengenaan pajak mengacu pada prinsip-prinsip ajaran Adam Smith, yaitu equality (dikenakan sesuai dengan kemampuan membayar), certainty (harus memiliki kepastian hukum), convenience (dikenakan pada saat yang tidak menyulitkan), dan economy(biaya pemungutan pajak dan pemenuhan kewajiban pajak seminimal mungkin).

Pada bab berikutnya, Darussalam dan Danny Septriadi menjelaskan tentang membatasi kekuasaan penagihan pajak atas ketetapan pajak pada saat menangani sengketa pajak di tingkat keberatan dan banding.

Berdasarkan Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dijelaskan bahwa wajib pajak dapat mengajukan banding dengan syarat harus membayar terlebih dahulu 50% dari jumlah pajak yang terutang.

Apabila wajib pajak tidak dapat membayar minimal 50% dari utang pajaknya, maka banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Pajak. Persyaratan tersebut dinilai telah menghalangi hak wajib pajak untuk mencari ‘keadilan’ atas ketetapan pajak yang disengketakan.

Di Brazil, wajib pajak diharuskan membayar deposit sebesar 30% dari jumlah ketetapan pajak yang disengketakan secara tunai kepada otoritas pajak Brazil. Di Iran, wajib pajak hanya diharuskan membayar deposit sebesar 5% dari jumlah ketetapan pajak yang disengketakan.

Sementara, di Amerika Serikat berdasarkan ketentuan Internal Revenue Code (IRC Nomor 6213), Pengadilan Pajak di Amerika Serikat tidak mewajibkan untuk membayar ketetapan pajak sampai keputusan akhir dari hasil dari yang disengketakan telah ditetapkan.

Sehingga dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  • Mengharuskan wajib pajak untuk membayar ketetapan pajak yang terutang terlebih dahulu;
  • Tidak mengharuskan untuk membayar membayar terlebih dahulu atas ketetapan pajak yang disengketakan;
  • Mewajibkan untuk membayar sebesar persentase tertentu dari jumlah pajak yang terutang agar sengketanya dapat diproses; dan
  • Hanya meminta wajib pajak untuk memberikan jaminan agar sengketanya dapat diproses.

Lebih lanjut, buku ini menjelaskan mengenai lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif di bidang perpajakan. Lembaga legislatif mempunyai kewenangan dalam pembuatan undang-undang pajak. Sedangkan, lembaga eksekutif berperan dalam administrasi dan pelaksanaan undang-undang pajak.

Adapun lembaga yudikatif berperan dalam menguji apakah undang-undang pajak yang dibuat bertentangan atau tidak dengan undang-undang dasar. Undang-undang pajak memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk menerbitkan ketentuan perpajakan untuk melaksanakan undang-undang pajak.

Di Indonesia, sebagian besar pengaturan ketentuan perpajakan didelegasikan oleh Undang-Undang kepada pemerintah melalui Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Terakhir, buku ini dilengkapi dengan lampiran-lampiran yang menjelaskan pasal-pasal dalam undang-undang yang mendelegasikan pengaturan pengenaan pajak kepada pemerintah. Untuk memahami lebih mendalam tentang buku ini, silakan membacanya di DDTC Library.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.