KAMUS PAJAK

Apa Itu Force Majeure dalam Konteks Perpajakan?

Nora Galuh Candra Asmarani
Jumat, 14 Oktober 2022 | 18.00 WIB
Apa Itu Force Majeure dalam Konteks Perpajakan?

ISTILAH force majeure kerap ditemui semenjak pandemi Covid-19 melanda Tanah Air. Istilah itu di antaranya terdapat dalam Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-178/PJ/2020 yang di antaranya mengatur penetapan force majeure akibat penyebaran Covid-19.

Istilah tersebut juga sempat tercantum dalam Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-209/PJ/2018. Melalui Keputusan tersebut, Dirjen Pajak kala itu Robert Pakpahan menetapkan force majeure atas bencana alam gempa bumi di Pulau Lombok Provinsi Nusa Tenggara Barat

Istilah force majeure sesungguhnya bukan hal yang asing dalam dunia perpajakan. Istilah tersebut telah lama tercantum dalam sejumlah aturan perpajakan. Lantas, apa yang dimaksud dengan force majeure?

DEFINISI
FORCE majeure merupakan istilah Prancis yang secara harfiah berarti "kekuatan yang lebih besar". Hal ini terkait dengan konsep Act of God, yaitu peristiwa yang tak dapat dimintai pertanggungjawaban oleh pihak manapun (Hargrave, 2022).

Hargrave memerinci peristiwa yang tergolong force majeure itu seperti angin topan atau angin puting beliung. Lebih lanjut, force majeure juga dapat mencakup suatu peristiwa akibat tindakan manusia, seperti konflik bersenjata.

Secara umum, suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai force majeure apabila terjadi tidak terduga dan tidak dapat dihindari. Adapun konsep force majeure tersebut didefinisikan dan diterapkan secara berbeda tergantung pada yurisdiksi (Hargrave, 2022).

Selaras dengan itu, Black’s Law Dictionary mengartikan force majeure sebagai kejadian yang tidak dapat diantisipasi atau dikendalikan, termasuk kejadian alam maupun kejadian akibat manusia.

Sementara itu, Cambridge Dictionary mendefinisikan force majeure sebagai peristiwa yang tidak terduga seperti perang, kejahatan, atau gempa bumi yang menghalangi seseorang untuk melakukan sesuatu yang tertulis dalam perjanjian hukum.

Dalam Bahasa Indonesia, force majeure disebut sebagai keadaan kahar. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadaan kahar berarti kejadian yang secara rasional tidak dapat diantisipasi atau dikendalikan oleh manusia.

Dalam ranah hukum, istilah keadaan kahar juga dikenal pada bidang lain seperti ekonomi, sosial, dan pajak. Pengertian keadaan kahar, dalam konteks pajak, di antaranya tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2012 (PP 1/2021).

Berdasarkan memori penjelasan Pasal 12 ayat (2) PP 1/2012, keadaan kahar adalah suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Peristiwa yang termasuk kategori keadaan kahar (force majeure) antara lain seperti peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan bencana lainnya yang harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang.

Pengertian keadaan kahar juga tercantum dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-33/PJ/2017, yaitu suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan diketahui secara luas, seperti perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran dan bencana alam.

Dirjen Pajak juga sempat menetapkan periode keadaan kahar untuk kepentingan perpajakan pada 21 Agustus-29 September 2019. Periode keadaan kahar itu berlaku untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang tengah mengalami gangguan keamanan.

Keadaan kahar juga pernah berlaku kala terjadi bencana alam tsunami Selat Sunda di wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lampung Selatan pada 22 Desember 2018 sampai dengan 31 Januari 2019.

Istilah keadaan kahar juga termaktub dalam sejumlah peraturan pajak, baik pusat maupun daerah. Umumnya, keadaan kahar tersebut membuat wajib pajak tidak dikenakan sanksi administrasi atau diberikan suatu keringanan tertentu. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.