PENGHITUNGAN pajak pertambahan nilai (PPN) di Indonesia bisa dikatakan sangat sederhana jika dibandingkan dengan jenis pungutan pajak lainnya. Pasalnya tarif PPN yang diterapkan bersifat tunggal, yaitu dikenakan tarif 10%.
Yang perlu menjadi perhatian adalah menentukan apakah transkasi atau penyerahan barang dan jasa yang dilakukan merupakan objek PPN atau bukan, serta penentuan terkait dasar pengenaan pajaknya sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel PPN sebelumnya.
Pada artikel ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai formula penghitungan PPN, kapan saat terutang, tempat terutang, hingga ketentuan penyetoran dan pelaporan PPN oleh pengusaha kena pajak (PKP).
PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak (DPP) yang meliputi harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain. Penghitungan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
PPN=Tarif PPN X DPP |
Contoh 1:
PKP A menjual tunai barang kena pajak (BKP) seharga Rp25.000.000. Maka PPN yang terutang = 10% x Rp25.000.000 = Rp2.500.000. PPN sebesar Rp2.500.000 tersebut merupakan pajak keluaran yang dipungut oleh PKP A.
Contoh 2:
PKP B melakukan penyerahan jasa kena pajak (JKP) dengan memperoleh penggantian Rp20.000.000. Maka PPN yang terutang = 10% x Rp20.000.000 = Rp2.000.000. PPN sebesar Rp2.000.000 tersebut merupakan pajak keluaran yang dipungut oleh PKP B.
Contoh 3:
Pengimpor C melakukan impor BKP dari luar daerah pabean dengan nilai impor Rp15.000.000. PPN yang dipungut melalui Ditjen Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000 = Rp1.500.000.
Contoh 4:
PKP D melakukan ekspor BKP dengan nilai ekspor Rp10.000.000. Maka PPN yang terutang = 0% x Rp10.000.000 = Rp0. PPN sebesar Rp0 tersebut merupakan pajak keluaran.
Untuk menentukan saat PKP melaksanakan kewajiban membayar pajak, penentuan saat pajak terutang menjadi sangat relevan. Tanpa diketahui saat pajak terutang, tidak mungkin ditentukan bilamana PKP wajib memenuhi kewajiban melunasi utang pajaknya.
Untuk menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya dengan penentuan saat timbulnya utang pajak. Sebagai pajak objektif, PPN menganut ajaran materiil timbulnya utang pajak yaitu utang pajak timbul karena undang-undang.
Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa utang pajak timbul karena adanya tatbestand yang diatur dalam undang-undang, yaitu sejak adanya suatu keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak.
Dengan rumusan yang lebih sederhana, dapat ditentukan bahwa utang PPN mulai timbul sejak adanya objek pajak. Merujuk Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012, terutangnya PPN terjadi pada saat-saat berikut:
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penyerahan JKP atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar daerah pabean, saat terutangnya PPN adalah pada saat pembayaran.
Berdasarkan Pasal 12 UU PPN, tempat terutang PPN diatur sebagai berikut:
Tempat terutang di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau di tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Dirjen Pajak (PER-4/PJ/2010).
PKP orang pribadi terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi PKP badan terutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha. Apabila PKP mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan PKP dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Apabila PKP mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di satu wilayah kerja satu Kantor Ditjen Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut, PKP memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali apabila PKP tersebut menghendaki lebih dari satu tempat pajak terutang, PKP wajib memberitahukan kepada Dirjen Pajak.
Dalam hal tertentu, Dirjen Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.
Contoh 1:
Orang Pribadi (OP) A yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila tempat tinggal OP A tidak ada penyerahan BKP dan/atau JKP, OP A hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Cibinong sebab tempat terutangnya pajak bagi OP A adalah di Cibinong.
Sebaliknya, jika penyerahan BKP dan/atau JKP dilakukan OP A hanya di tempat tinggalnya saja, OP A hanya wajib mendaftarkan diri di KPP Pratama Bogor. Namun, apabila baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya OP A melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP, OP A wajib mendaftarkan diri di KPP Pratama Bogor dan KPP Pratama Cibinong karena tempat terutangnya pajak ada di Bogor dan Cibinong.
Berbeda dengan orang pribadi, PKP badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi PKP badan di kedua tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP.
Contoh 2:
PT A mempunyai tiga tempat kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan Manna yang ketiganya berada di bawah pelayanan satu KPP, yaitu KPP Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut melakukan BKP dan/atau JKP dan melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan sehingga PT A terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu.
Dalam keadaan demikian, PT A wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai PKP, misalnya tempat kegiatan usaha di Bengkulu. PT A yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha tersebut.
Apabila PT A menghendaki tempat kegiatan usaha di Bengkulu dan Bintuhan ditetapkan sebagai tempat pajak terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT A wajib memberitahukan kepada Kepala KPP Pratam Bengkulu.
Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat BKP dimasukkan dan dipungut oleh Ditjen Bea dan Cukai.
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
Penyetoran PPN oleh PKP harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan (SPT) masa pajak PPN disampaikan. Adapun SPT Masa PPN dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
Demikian penjelasan mengenai perhitungan, saat/tempat terutang PPN, penyetoran dan pelaporan PPN. Artikelnya berikutnya akan mengulas mengenai konsep pajak masukan dan pajak keluaran serta pengkreditan PPN. Untuk materi mengenai PPN sebelumnya dapat dibaca di sini.*