Luigi Einuadi, presiden Italia periode 1948-1955.
ROMA, 1929. Espresso masih diseduh secara manual di Antico Caffe Greco, sebuah kedai kopi tua yang letaknya selemparan pandang dari Piazza Di Spagna, jantung ibu kota Italia. Tanpa menghiraukan ramainya orang yang berlalu-lalang di ruas Via dei Condotti, pengunjung kafe menyesap kopi pekat yang tersaji di cangkir-cangkir porselen.
Espresso memang telah lama menjadi kegemaran warga Italia. Lebih dari itu, espresso merupakan ritual budaya bagi mereka.
Pekatnya kopi yang diteguk warga Roma tak ubahnya gelapnya ekonomi dunia pada kala itu. Amerika Serikat menularkan efek The Great Depression ke negara-negara industri, termasuk Italia. Dalam rentang waktu 3 tahun saja, sejak 1929, angka pengangguran di Italia naik dari 300.000 orang menjadi 1 juta orang.
Kondisi yang melanda Italia dan dunia memaksa pemerintahan fasis di bawah Perdana Menteri Italia Benito Mussolini menjalankan proteksionisme. Italia mengejar swasembada gandum agar tidak lagi impor dari Amerika Serikat dan Kanada. Mussolini juga makin menguatkan cengkeram kediktatorannya, dengan cara melibatkan agama Katolik ke dalam pemerintahan melalui Perjanjian Lateran yang ditandatangani pada 11 Februari 1929.
Tantangan ekonomi dunia selepas Perang Dunia I sebenarnya tidak semata-mata soal kompetisi perdagangan. Ada ganjalan lain yang ikut berperan dalam menjaga stabilitas perekonomian tiap negara, yakni masih peliknya pengumpulan pajak oleh negara-negara di dunia.
Negara barat mulai menyusun regulasi terkait dengan pengumpulan pajak secara terukur. Amerika Serikat misalnya, terus menyempurnakan pemungutan pajak penghasilan (PPh) yang mulai dikenalkan sejak 1913 melalui amandemen konstitusinya. Meski begitu, konsep pajak penghasilan sendiri sudah dikenal di Amerika Serikat sejak 1863 setelah Perang Saudara.
Di Inggris, konsep pemungutan pajak penghasilan juga sudah berjalan sejak 1798. Sementara di Prancis, sistem pemungutan pajak langsung yang sederhana lahir dari Revolusi Prancis, meski akhirnya direformasi pada 1870.
Namun, penerapan pemungutan pajak penghasilan yang berlaku rata terhadap semua kelompok masyarakat dinilai memberikan beban administrasi yang berat.
Tiga tahun sebelum mesin otomatis pembuat espresso diciptakan, pada 1933, ekonom Italia Luigi Einaudi mengusung konsep awal mengenai presumptive tax. Melalui jurnalnya yang berjudul La Scienza Italiana e la Imposta Ottima, Einaudi menyodorkan konsep 'pajak optimal'. Konsep itulah yang menjadi cikal bakal penerapan presumptive tax hingga sekarang.
Einaudi berpendapat, pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan 'pendapatan rata-rata' bisa lebih merangsang produksi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, pajak mestinya dipungut berdasarkan pendapatan rata-rata, bukan pendapatan aktual. Dengan demikian, semua pembayar pajak memiliki peluang yang sama untuk memperoleh insentif atas kerja keras mereka. Pendapatan di atas batas rata-rata akan bebas pajak. Keuntungan lainnya, kesederhanaan administratif.
Dalam jurnal yang sama, Einaudi menilai presumptive tax bisa menghapus ketidakadilan dalam pemungutan pajak. Presumptive tax menawarkan 'kebenaran' yang praktis dan memastikan setiap orang membayar pajaknya sesuai dengan kemampuannya.
"Presumptive tax memastikan tiap orang membayar pajak sesuai kewajibannya kepada negara, setelah negara memberikan lingkungan hukum dan sosial bagi mereka untuk bekerja," tulis Einaudi dalam jurnal yang diterbitkan ulang pada 1963.
Selain itu, presumptive tax juga erat kaitannya dengan sektor-sektor usaha yang sulit dipajaki (hard to tax sector). Hal ini terjadi karena otoritas pajak mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi penghasilan atau transaksi sebenarnya (aktual) yang dipakai sebagai basis pengenaan pajak. Kelompok hard to tax itu, salah satunya adalah pelaku UMKM.
Karenanya, presumptive tax dinilai bisa menjadi solusi untuk memajaki sektor-sektor tersebut. Presumptive tax diterapkan untuk meningkatkan efisiensi dalam memperoleh informasi yang diperlukan dalam menghitung beban pajak.
WAJIB pajak UMKM menanggung beban yang relatif bert terkait dengan aspek perpajakannya. Evans, dalam Some Cautions Regarding Tax Simplification, menjabarkan ada 3 beban yang diemban oleh UMKM, yakni beban dari pajak itu sendiri, biaya efisiensi yang memengaruhi kegaitan usahanya, dan biaya kepatuhan yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya.
Guna mengatasi tantangan-tangan tersebut, pemerintah Indonesia mengenalkan konsep PPh final bagi pelaku UMKM.
Rezim PPh final sendiri sebenarnya sudah dikenal di Indonesia melalui UU 7/1983 tentang Pajak Penghasilan. Namun, untuk pertama kalinya pemerintah menerapkan PPh final secara khusus bagi UMKM pada 2013.
Saat itu, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) 46/2013. Ada dua hal yang diatur dalam beleid tersebut. Pertama, ada batas maksimum peredaran bruto UMKM yang berhak mendapatkan pajak final, yakni senilai Rp4,8 miliar dalam setahun pajak.
Kedua, ditetapkan besaran tarif PPh final bagi UMKM yakni 1% atas peredaran bruto atau omzet selama satu tahun pajak. Sebelum PP 46/2013 berlaku, UMKM diperlakukan sama dengan usaha lainnya.
Kebijakan ini terbukti ampuh dalam membantu pelaku UMKM mengembangkan usahanya. Simplifikasi penghitungan pajak terutang juga membuat kepatuhan pajak meningkat. Dalam laporan Tarif Khusus PPh bagi UMKM yang dirilis DJP pada 2014, menunjukkan adanya peningkatan penerimaan PPh dari UMKM yang cukup signifikan.
Laporan tersebut mengungkapkan penerimaan PPh badan dari UMKM naik dari Rp280 miliar pada 2013 menjadi Rp1,4 triliun pada 2014 atau naik 264,3%. Sementara itu, PPh orang pribadi naik dari Rp160 miliar menjadi Rp970 miliar, naik 506,3%.
Beranjak ke 2018, pemerintah kembali memperbarui ketentuan PPh final UMKM. Melalui PP 23/2018, yang kemudian diperbarui dengan PP 55/2022, tarif PPh final bagi UMKM kembali diperkecil, yakni menjadi 0,5%. UU 7/2021 juga memberikan batas omzet tidak kena pajak bagi UMKM hingga Rp500 juta.
Pada prinsipnya, penerapan PPh final bagi UMKM bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Namun, ada beberapa aspek yang perlu dievaluasi dari penerapan kebijakan ini, termasuk masih adanya peluang perencanaan pajak secara agresif dari implementasi PPH final UMKM.
Sesuai dengan working paper yang dirilis oleh OECD, pemerintah perlu mengantisipasi dampak dari presumptive tax yang bisa menghambat perkembangan usaha. Sebab, terdapat potensi wajib pajak untuk memilih tetap berstatus sebagai UMKM sehingga terhindar dari beban administrasi pajak yang berlebih.
Namun, terlepas dari sejumlah kekurangan tersebut, penerapan presumptive tax atau PPh final bagi UMKM selama ini dirasa cukup meringankan beban pajak yang diampu oleh pelaku UMKM. Sebagai kontributor terhadap 61% produk domestik bruto (PDB), memang selayaknya UMKM mendapatkan perhatian khusus dan dukungan yang lebih banyak dari pemerintah.
Ditjen Pajak (DJP) selaku pemilik otoritas terkait dengan kebijakan pajak di Tanah Air terus memberikan atensinya terhadap pelaku UMKM agar bisa terus berkembang. Ujungnya, UMKM bisa naik kelas dan secara lebih adil memberikan kontribusinya terhadap penerimaan negara. (sap)