REVOLUSI industri 4.0 yang ditandai dengan penggunaan cyber-physical system, Internet of things, cloud computing, hingga cognitive computing memungkinkan perusahaan multinasional (MNE) di berbagai sektor industri dapat mencapai tujuan bisnis yang telah ditetapkan dengan cara yang lebih cepat, efektif, dan efisien.
Sebagai contoh, Airbnb merupakan perusahaan online marketplace yang bergerak di bidang layanan akomodasi atau penginapan. Airbnb mempertemukan pemilik penginapan dengan pihak yang ingin menyewanya.
Airbnb bukan merupakan pihak yang menjadi pemilik penginapan tersebut. Dalam hal ini, Airbnb memanfaatkan pengembangan aplikasi, data, brand, serta jaringan yang dibangun dengan pemilik penginapan untuk melakukan kegiatan usaha.
Melalui contoh Airbnb di atas, dapat dilihat bahwa revolusi industri 4.0 memberikan dampak terhadap model bisnis saat ini. Hal ini selaras dengan salah satu respons MNE dalam memanfaatkan perkembangan teknologi informasi terkini, yaitu dengan melakukan digitalisasi model bisnis yang ada. Digitalisasi model bisnis ditandai dengan mobilitas yang tinggi, ketergantungan atas data, penggunaan sinergi jaringan, dan sebagainya (Petruzzi dan Prasanna, 2018).
Sebagai ilustrasi, rantai suplai MNE pada awalnya bersifat linear dan memiliki segmentasi atas masing-masing aktivitas, mulai dari kegiatan riset dan pengembangan, pengadaan, produksi, logistik, pemasaran, penjualan, hingga layanan purnajual.
Rantai suplai ini berubah menjadi suatu jaringan yang saling terintegrasi memanfaatkan pertukaran data dan dapat menjadi kompleks ketika terdapat aktivitas tertentu yang tidak dapat terlihat secara fisik.
Perkembangan model bisnis MNE ini menjadi tantangan baru dalam ranah transfer pricing. Terkait dengan hal ini, pemahaman atas bagaimana suatu MNE beroperasi merupakan hal yang krusial dalam melakukan analisis transfer pricing.
Secara khusus, pemahaman atas dampak digitalisasi terhadap model bisnis MNE dapat membantu penerapan arm’s length principle dilakukan secara tepat (Prasanna, 2018). Terlebih lagi, arm’s length principle pasca-BEPS memiliki gagasan utama untuk memastikan bahwa hasil dari transfer pricing sesuai dengan pembentukan nilai.
Pembentukan nilai tidak dapat diidentifikasi tanpa memahami bagaimana suatu MNE beroperasi. Dewasa ini, aset yang berkontribusi besar bagi nilai suatu perusahaan adalah aset tidak berwujud yang berupa brand, platform, know-how, atau data (Petruzzi dan Prasanna, 2018).
Secara umum, digitalisasi model bisnis suatu MNE berdampak pada beberapa hal, di antaranya penciptaan value driver baru atau value driver yang sulit ditentukan karena sejumlah agenda seperti integrasi bisnis dengan pelanggan.
Kemudian restrukturisasi usaha, mencakup perpindahan fungsi, aset terutama aset tidak berwujud, dan risiko; lalu model penentuan harga transfer yang bervariasi seperti sharing risiko, penentuan harga yang didasarkan atas outcome, dan sebagainya. (Wehnert, 2018)
Perubahan atas model bisnis MNE saat ini merupakan tantangan bagi otoritas pajak dan wajib pajak , terlebih di Indonesia. Tanpa pemahaman mendalam atas model bisnis suatu MNE dan regulasi yang mengakomodasi penerapan prinsip kewajaran kelaziman usaha pasca-BEPS, bukan tidak mungkin sengketa pajak terkait dengan transfer pricing akan meningkat.
Lantas, apa yang harus dipersiapkan dan dilakukan otoritas pajak Indonesia dan wajib pajak dalam menyambut digitalisasi model bisnis dari perspektif transfer pricing? Ada beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan otoritas pajak Indonesia.
Pertama, Indonesia disarankan untuk menentukan posisi terkait dengan Rencana Aksi BEPS 8-10. Indonesia belum menentukan posisi atas Rencana Aksi BEPS 8-10 (diadopsi pada OECD Transfer Pricing Guidelines 2017) yang memuat dasar konsep dan perlakuan atas model bisnis yang saat ini relevan.
Penerapan arm’s length principle pasca-BEPS ini ditujukan untuk menentukan apakah transaksi afiliasi memiliki substansi ekonomi dan melibatkan analisis fungsi, aset, dan risiko yang mendalam (Baets dan Gao, 2018).
Analisis ini berangkat dari pemahaman atas bagaimana suatu MNE beroperasi. Lebih lanjut, aset tidak berwujud yang memiliki peranan penting dalam penentuan nilai mendapatkan perhatian khusus melalui Bab VI OECD Transfer Pricing Guidelines 2017.
Pembaruan atas regulasi penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha penting untuk dilakukan karena posisi Indonesia terkait dengan Rencana Aksi BEPS 8-10 nantinya akan tercermin dari regulasi yang ada.
Kedua, perhatian khusus terhadap terbentuknya Bentuk Usaha Tetap (BUT). Salah satu dampak dari digitalisasi model bisnis adalah berkurangnya aktivitas yang dapat terlihat secara fisik. Selain itu, MNE juga dapat melakukan skema komisioner dan fragmentasi usaha untuk menghindari timbulnya BUT (Darussalam dan Kristiaji, 2017). Dalam hal ini, Indonesia disarankan untuk mempertimbangkan Rencana Aksi BEPS 7 untuk mencegah penghindaran pajak melalui status BUT.
Usulan lainnya adalah dengan menambah kriteria pembentukan BUT melalui kehadiran digital yang signifikan (significant digital presence). Konsep ini diperuntukkan bagi perusahaan yang terlibat dalam ‘kegiatan digital yang sepenuhnya tidak mempunyai bentuk berwujud’ (Darussalam dan Ngantung, 2017).
Ketiga, pengembangan sumber daya manusia (SDM) otoritas pajak. OECD Transfer Pricing Guidelines 2017 Paragraf 4.7 menyatakan bahwa sengketa transfer pricing merupakan sengketa berbasis fakta dan membutuhkan informasi yang mendalam terkait dengan kegiatan usaha wajib pajak.
Analisis transfer pricing yang berangkat dari pemahaman atas industri, grup usaha, dan kegiatan usaha wajib pajak menjadikan pengembangan SDM otoritas pajak dalam konteks pemahaman atas model bisnis MNE terkini penting untuk dilakukan.
Sementara itu, untuk wajib pajak, ada beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan. Pertama, menelaah dan mendokumentasikan segala hal yang berhubungan dengan skema transaksi afiliasi.
Digitalisasi yang berdampak pada model bisnis yang bervariasi dan makin kompleks membuka kesempatan bagi wajib pajak untuk menelaah dan mendokumentasikan skema transaksi afiliasi mulai dari penentuan harga transfer, rasionalisasi atas suatu skema transaksi afiliasi, hingga pembuktian eksistensi dan manfaat yang didapat atas skema yang ada. Hal ini menjadi modal bagi wajib pajak untuk menjelaskan kegiatan usaha miliknya dan sebagai bukti bahwa penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha telah dilakukan.
Kedua, membangun komunikasi yang baik dan intensif dengan grup usaha dalam konteks isu transfer pricing. Hal ini penting karena analisis transfer pricing pasca-BEPS bukan hanya berfokus pada wajib pajak dalam negeri, melainkan grup usaha secara keseluruhan.
Informasi atas grup usaha serta dokumentasi transfer pricing berupa dokumen induk dan laporan per negara akan relatif mudah untuk didapatkan apabila terdapat komunikasi yang baik dan intensif dengan grup usaha.
Ketiga, pengembangan SDM internal perusahaan terkait dengan pentingnya isu transfer pricing. Transfer pricing tidak hanya masalah personel departemen keuangan, akuntansi, dan pajak, tetapi juga membutuhkan perhatian departemen perusahaan secara keseluruhan.
Hal ini disebabkan seluruh aspek dalam transfer pricing berhubungan erat dengan segala aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan tersebut mulai dari departemen penjualan dan pemasaran, pengadaan, produksi, hingga logistik.
Digitalisasi model bisnis menyebabkan segala aktivitas bisnis menjadi terintegrasi. Hal ini membutuhkan kesadaran masing-masing departemen atau fungsi dalam konteks penentuan harga transfer kepada pihak afiliasi serta pendokumentasian berbagai hal yang berhubungan dengan skema transaksi afiliasi.