ANALISIS PAJAK

Menyoal Alokasi Hak Pemajakan dalam P3B

Redaksi DDTCNews
Kamis, 21 Februari 2019 | 09.15 WIB
ddtc-loaderMenyoal Alokasi Hak Pemajakan dalam P3B
DDTC Fiscal Research

MODEL perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty memiliki peran penting dalam mengatur alokasi hak pemajakan antara negara domisili dan negara sumber. Namun, hingga saat ini, aspek keadilan (fairness) pembagian hak pemajakan antara kedua negara tersebut nampaknya masih jadi perdebatan.

Secara historis, model P3B pertama kali dikembangkan oleh League of Nations atau Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada pertengahan tahun 1920-an. Sejak saat itu, diskusi panjang mengenai alokasi hak pemajakan telah berlangsung. Topik ini cukup kontroversial karena terkait dengan situasi antara negara maju dan negara berkembang.

Saat ini, dua model P3B yang menjadi rujukan utama banyak negara dalam mengadakan P3B adalah Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Model dan United Nations (UN) Model.

Darussalam & Septriadi (2017) menyebut perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada kepentingan pembagian hak pemajakan. OECD berkeinginan agar hak pemajakan diberikan sebanyak mungkin kepada negara domisili. Sebaliknya, UN berkeinginan hak pemajakan diberikan kepada negara sumber penghasilan.

OECD Model saat ini dikembangkan dari Draf 1963 dan OECD Model 1977. Sementara, UN Model baru dirilis pada 1980 dengan sebagian besar isinya mengekor pada OECD Model 1977. Struktur pasal-pasal antara keduanya tidak jauh berbeda. Namun, terdapat perbedaan substansi dalam pasal-pasal tertentu.

Laba Usaha
SALAH satu pasal yang paling krusial dalam P3B adalah pasal yang mengatur pajak atas laba usaha (bussiness profit) yang tercantum dalam Pasal 7. Pasal ini dianggap sebagai prinsip fundamental pajak internasional serta landasan OECD Model dan UN Model dalam mengalokasikan hak pemajakan antara negara domisili dan negara sumber (Skaar, 1991).

Secara konseptual, Pasal 7 mengatur bahwa laba usaha hanya dikenai pajak di negara tempat perusahaan yang memperoleh laba usaha tersebut menjadi subjek pajak dalam negeri. Namun, berdasarkan prinsip bentuk usaha tetap (BUT) yang berlaku secara umum, Pasal 7 juga mengatur apabila subjek pajak dalam negeri dari suatu negara (negara domisili) menerima laba usaha dari negara sumber melalui BUT yang berada di negara sumber tersebut, negara sumber juga boleh mengenakan pajak atas laba usaha tersebut.

Dengan kata lain, negara sumber mempunyai hak pemajakan atas laba usaha apabila subjek pajak dalam negeri dari negara domisili mempunyai BUT di negara sumber penghasilan. Apabila laba usaha dipajaki di negara sumber, bukan berarti negara domisili akan kehilangan hak pemajakannya.

Negara domisili tetap berhak mengenakan pajak. Namun, dalam rangka mencegah terjadinya pajak berganda, negara domisili harus memberikan keringanan pajak berganda melalui salah satu metode yang disediakan dalam Pasal 23A dan 23B Model P3B.

Selanjutnya, Pasal 7 OECD Commentary (2014) menekankan pentingnya keberadaan BUT dalam menentukan alokasi hak pemajakan antara negara domisili dan negara sumber, dengan kutipannya sebagai berikut:

It incorporates the basic principle that unless an enterprise of a Contracting State has a permanent establishment situated in the other State, the business profits of that enterprise may not be taxed by the other State unless these profits fall into special categories of income for which other Articles of the Convention give taxing rights to that other State.”

Istilah basic principle mengarah pada pandangan bahwa BUT merupakan kriteria absolut dan universal untuk mengalokasikan hak pemajakan. Padahal, konsep BUT kerap dituding sebagai konsep yang ‘melindungi’ kepentingan negara maju.

Alokasi hak pemajakan yang diatur dalam Pasal 7 OECD Model atau UN Model sebetulnya bukanlah prinsip fundamental pajak internasional, melainkan hanya salah satu ‘cara’ yang bisa diterapkan. Terlebih, konsep ini mengabaikan elemen utama dalam lingkungan bisnis internasional, yaitu kehadiran pasar konsumen (Rocha, 2017).

Ketentuan tersebut secara jelas mereduksi hak pemajakan negara sumber yang umumnya merupakan negara-negara berkembang.Ketika perusahaan di negara domisili melakukan bisnis di negara sumber yang memiliki pasar konsumen yang besar, tetapi tidak mempunyai BUT, negara sumber tidak berhak untuk memajaki penghasilan aktivitas bisnis tersebut. Meskipun ada, negara sumber harus menerapkan aturan yang lebih kompleks untuk mengatribusikan laba BUT. 

Pertanyaannya, mengapa negara berkembang bersedia memasukkan Pasal 7 ini dalam P3B mereka? Terdapat beberapa alasan yang menjelaskan hal tersebut. Pertama, Pasal 7 secara universal diterima sebagai prinsip dasar pajak internasional.

Kedua, P3B dilihat sebagai instrumen untuk menarik investasi langsung asing (foreign direct investment/FDI), meskipun belum ada bukti empiris terkait dengan peran P3B dalam menarik FDI. Ketiga, sebagian besar negara maju tidak akan mau menandatangani P3B tanpa adanya Pasal 7.

Beberapa negara telah berupaya mengurangi eksistensi Pasal 7 ini. Brazil misalnya, dengan mengikuti UN Model terkait perlakuan asuransi dalam Pasal 5 (BUT), memasukkan sewa peralatan industri, komersial dan  peralatan ilmiah ke dalam definisi royalti, serta memasukkan ketentuan di hampir semua protokolnya bahwa jasa teknis dan jasa bantuan teknis masuk definisi royalti. Hal serupa juga dilakukan oleh negara-negara lain dalam mengadakan P3B, seperti Kolombia, Finlandia, Jerman, India, dan Slovenia (Pistone, 2012).

Sarat Kepentingan
TIDAK dapat dimungkiri, OECD lebih banyak berperan dalam ‘menavigasi’ kebijakan pajak internasional. Hanya tersisa ruang kecil bagi UN. Hal ini terlihat dari kecilnya pengaruh UN Model jika dibandingkan dengan OECD Model, yang menjadi standar dalam negosisasi P3B di dunia (Piston, 2010). Kendati demikian, konsep BUT pun mulai dipertanyakan kesesuaiannya dengan kondisi ekonomi saat ini.

Apalagi, di era ekonomi digital, kegiatan bisnis ekonomi seringkali tidak memerlukan kehadiran fisik di negara sumber. Ini menjadi diskusi panjang antara negara-negara OECD dan G20 yang dituangkan dalam proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Pada 16 Maret 2018 lalu, OECD/G20 merilis Interim Report terkait dengan pajak ekonomi digital.

Salah satu poin dari Interim Report tersebut adalah terkait dengan penelusuran kebijakan pajak unilateral atas ekonomi digital lintas-yurisdiksi. Dari beberapa kelompok kebijakan yang ditelusuri, terdapat upaya memodifikasi threshold BUT, seperti dengan mempertimbangkan kehadiran secara digital yang diterapkan di Israel melalui significant economic presence test ataupun upaya memperluas definisi fixed place of business untuk digital platform yang diterapkan di Slovakia pada 2017.

Dapat disimpulkan, diskusi panjang mengenai eksistensi konsep BUT dan berbagai kebijakan unilateral tersebut merefleksikan adanya ketidakpuasan model pengalokasian laba dari sistem pajak internasional yang berlaku saat ini. Konsep BUT mulai kehilangan ‘daya paksanya’ untuk sistem ekonomi baru, terlepas dari P3B itu direnegosiasi ataupun tidak (Skaar, 1991).

Meskipun tersisa ruang kecil, inilah saatnya bagi UN sebagai ‘counterpart’ OECD untuk menuntaskan misinya dalam membangun sistem pajak yang lebih adil, terutama dalam pembagian hak pemajakan antara negara maju dan berkembang.

Penyusunan UN Model yang berbasis dari OECD Model pada akhirnya terbukti tidak memberikan dampak perubahan yang signifikan. Independensi dalam menyusun draf P3B jadi kunci bagi UN. Mengubah secara keseluruhan logika dibalik Pasal 7, dapat jadi awal yang baik dalam mewujudkan keadilan dalam sistem pajak internasional.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.