PERSOALAN kepastian hukum pajak bagi pihak yang berperkara di pengadilan pajak selalu menarik untuk dikupas. Salah satunya disebabkan ketiadaan yurisprudensi yang mengikat. Ketiadaan yurisprudensi dapat mengakibatkan putusan pengadilan pajak dengan fakta yang sama, bisa menghasilkan putusan yang tidak konsisten. Atau dengan kata lain, rendahnya kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa menjadikan putusan sulit diprediksi.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia merupakan negara hukum. Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, yang mana kodifikasi undang-undang merupakan sumber hukum utama sehingga yurisprudensi tidak mengikat.
Tidak mengikatnya yurisprudensi juga dijelaskan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Konsekuensinya, hakim tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti yurisprudensi sebelumnya.
Walaupun demikian, yurisprudensi di negara Eropa Kontinental termasuk Indonesia memiliki sifat persuasif. Artinya, yurisprudensi boleh diikuti atau tidak oleh pengadilan. Akan tetapi, yurisprudensi tetap dihormati dan hanya digunakan sebagai pertimbangan.
Untuk meneliti peran yurisprudensi dan upaya untuk mendorong agar yurisprudensi sebaiknya dapat implementasikan di pengadilan pajak, penulis melakukan perbandingan atas pengadilan di negara dengan sistem hukum Anglo Saxon, Eropa Kontinental, dan campuran.
Kanada
Sebagai negara Anglo Saxon, yurisprudensi merupakan bagian dari sumber hukum yang sangat fundamental di Kanada. Yurisprudensi ini untuk memastikan semua putusan memiliki konklusi hukum yang sama ketika menghadapi isu yang sama sehingga dapat menjunjung prinsip kejelasan, prediktabilitas, dan legitimasi hukum dalam mencapai kepastian hukum bagi semua pihak yang bersengketa.
Walaupun tingkat kepatuhan pengadilan sangat tinggi dalam menerapkan yurisprudensi, Kanada menyediakan beberapa metode untuk menyimpang dari putusan sebelumnya, yakni (Holloway, Lamarre, 2019):
Korea Selatan
Artikel 103 Konstitusi menyatakan bahwa Korea Selatan menganut sistem Eropa Kontinental. Namun dalam perkembangannya, Korea Selatan mengadopsi karakteristik sistem Anglo Saxon sehingga Korea memiliki sistem hukum campuran (Lee, Yoon, 2019). Melalui sistem hukum campuran ini, putusan Mahkamah Agung akan diikuti oleh pengadilan yang ada dibawahnya. Sedangkan putusan pengadilan tinggi, juga merupakan yurisprudensi bagi pengadilan yang tingkatnya setara dan yang berada di bawahnya apabila belum ada putusan dari Mahkamah Agung terkait kasus yang sama.
Korea Selatan juga memberikan ruang agar hukum dapat bergerak dinamis. Apabila terdapat perubahan persepsi mengenai keadilan, Grand Panel melalui putusan pleno en banc dapat menetapkan putusan yang menyimpang dengan putusan sebelumnya. Yaitu, dengan cara melakukan interpretasi atas suatu peraturan perundang-undangan dengan dasar prinsip-prinsip konstitusi seperti prinsip persamaan, proporsionalitas, dan perlindungan hak fundamental.
Belanda
Walaupun secara jelas Pasal 11 dan 12 General Provision Act 1989 mengatakan pengadilan harus mengadili berdasarkan hukum tanpa mempertimbangkan adil atau tidaknya peraturan hukum dimaksud. Namun dalam praktiknya, yurisprudensi dari Mahkamah Agung sangat persuasif untuk pengadilan tingkat pertama dan pengadilan banding (Blokland et al., 2018). Mahkamah Agung juga mengambil peran untuk menjawab pertanyaan pendahuluan (preliminary questions) apabila terdapat banyak permohonan banding yang serupa dan memutuskan berdasarkan kasus yang menjadi contoh (pilot case).
Lebih lanjut, sistem hukum Belanda menyatakan secara tegas bahwa salah satu tugas Mahkamah Agung adalah melakukan penyelarasan dan pengembangan hukum (Act of 18 April 1827 Netherland). Serta, mempertahankan konsistensi putusan yang merupakan mandat dari Consultative Council of European Judge (CCJE Opinion No. 20 (2017)).
Afrika Selatan
Sistem hukum di Afrika Selatan sangat erat dengan perjalanan sejarah negara tersebut. Sempat dijajah oleh Inggris dan Belanda, membuat Afrika Selatan menganut “mixed legal system”. Artinya, sistem hukum di Afrika Selatan mengacu pada Anglo Saxon Inggris, tetapi sumber hukumnya berasal dari Roman Dutch dan hukum adat Afrika (Johann Hattingh. 2011). Oleh karena pengaruh Anglo Saxon yang cukup kuat dalam sistem hukum, peran yurisprudensi sudah diakui sejak 1830 dalam kasus In re Taute.
Aspek putusan yang memiliki potensi untuk mengikat pengadilan adalah “ratio decidendi”. Yaitu, konsiderans atas penemuan hukum yang bersifat umum, konsekuensinya hanya mengikat konsiderans putusan, bukan isi putusannya (A.N. Allott, 1968). Yurisprudensi di negara ini terbagi menjadi vertikal dan horisontal. Pada tingkat vertikal, putusan pengadilan yang lebih tinggi tingkatnya mengikat pengadilan yang tingkatnya di bawah. Sedangkan pada tingkat horisontal, ratio decidendi dianggap mengikat kecuali ditemukan bahwa ratio decidendi keliru.
Implementasi di Indonesia
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa pengadilan pajak memiliki tujuan untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.
Dibandingkan dengan Belanda, ada perbedaan tugas antara pengadilan pajak Indonesia dan Belanda. Pengadilan pajak Belanda memiliki tugas penyelarasan, sedangkan di Indonesia hanya memiliki tugas untuk mencari keadilan. Tidak heran, peran yurisprudensi di pengadilan pajak Belanda lebih signifikan.
Sedangkan di Korea Selatan, sudah menjadi kebiasaan pengadilan pajak mengikuti putusan sebelumnya. Hal ini dilakukan, misalnya untuk menghindari terjadinya overturn dan mencegah kerugian masyarakat karena hukum yang berubah-ubah (Lee, Yoon, 2019).
Tidak bisa disangkal bahwa kehadiran yurisprudensi dapat menghemat waktu, serta memberikan konsistensi dan kepastian hukum. Agar yurisprudensi dapat menjadi sumber hukum di pengadilan pajak Indonesia, seharusnya kekuasaan hakim pajak dapat diperluas. Peran hakim pajak mencakup juga sebagai penyelaras hukum dan memiliki tugas untuk menjaga konsistensi putusan.
Dengan demikian, putusan akan lebih mudah diprediksi dan akan memberi kepastian kepada para pihak yang bersengketa. Jika putusan tidak konsisten, tentu akan memiliki potensi ketidakpastian penerapan hukum di ranah pengadilan (Septriadi, 2019; Bujanakova, 2016)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.