ANALISIS PAJAK

Pandemi Covid-19 dan 9 Prediksi Pajak di Masa Mendatang

Redaksi DDTCNews
Selasa, 21 April 2020 | 12.15 WIB
ddtc-loaderPandemi Covid-19 dan 9 Prediksi Pajak di Masa Mendatang
Partner of Tax Researcher & Training Service DDTC

BAGAIMANAKAH masa depan sektor pajak dengan adanya pandemi covid-19? Untuk menjawab hal ini jelas tidak mudah karena kita terbentur oleh dua pertanyaan lainnya. Seberapa lama pandemi ini akan berlangsung dan seberapa dalam dampaknya bagi aktivitas sosial-ekonomi?

Kedua pertanyaan tersebut jelas akan menentukan prospek ekonomi tahun ini dan tahun yang akan datang. Kita berada dalam bayang-bayang double economic shock, baik dari sisi penawaran maupun permintaan.

Terganggunya rantai suplai global, pembatasan sosial, serta kelancaran cash flow akan berpengaruh dari sisi penawaran. Sementara itu, ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan berkurangnya penghasilan harian memengaruhi sisi permintaan.

Durasi dan kedalaman dampak pandemi covid-19 ini juga akan menentukan jenis dan besaran instrumen fiskal pemerintah di banyak negara. Masalahnya, bagaimana daya tahan anggaran pemerintah?

Pengalaman berbagai krisis sebelumnya – mulai dari depresi besar 1930 hingga krisis keuangan global 2008 – memperlihatkan bagaimana kebijakan fiskal yang ekspansif kerap jadi opsi yang diambil oleh berbagai negara. Belanja yang besar dan relaksasi pemungutan pajak adalah jurus utamanya. Tujuannya, menyelamatkan ekonomi.

Penerimaan pajak umumnya bakal terkena dua pukulan telak. Perlambatan ekonomi secara natural mengurangi basis pajak. Sementara, tax expenditure ­– sebagai wujud pajak yang bersifat regulerend akan banyak digelontorkan.

Imbasnya, tax ratio turun drastis. Data dari World Bank menunjukkan bahwa terdapat penurunan rata-rata tax ratio dunia sekitar 1,5% setelah 2008. Penting untuk dicatat, penurunan yang tidak ‘bombastis’ tersebut diakibatkan oleh karena faktor penyebutnya (PDB) yang menyusut.

Secara kumulatif, defisit anggaran umumnya membengkak. Lihat saja Amerika Serikat. Pada periode 2007-2009, defisit anggaran hanya sebesar 1% dari PDB. Setelahnya, meningkat hingga -10% (Stupak, 2019). Kebijakan fiskal ekspansif bukan tanpa risiko. Selain risiko utang, suku bunga, dan tingkat inflasi bisa juga turut terkerek naik.

Belajar dari Krisis Ekonomi 2008
LANTAS, bagaimana the future of tax? Untuk menjawabnya, perlu kita garisbawahi bahwa langkah yang diambil pemerintah pada jangka pendek sejatinya akan berpengaruh bagi postur fiskal jangka menengah-panjang. Relaksasi saat ini mungkin berimbas bagi pemungutan eksesif di masa depan.

Selain itu, kondisi pajak pascaterjadinya pandemi covid-19 juga bisa kita prediksi dengan belajar dari kondisi pajak pascaterjadinya krisis ekonomi 2008. Dari kedua hal tersebut, terdapat sembilan prediksi.

Pertama, dari defisit menuju konsolidasi fiskal. Dalam rangka menghadapi krisis, pada jangka pendek akan terdapat kebijakan fiskal yang ekspansif yang berakibat bagi defisit anggaran. Sebagai ilustrasi, pasca krisis 2008 rata-rata defisit anggaran negara anggota OECD meningkat 7%, sedangkan di Uni Eropa bertambah 5% (2009).

Namun, seiring berjalannya waktu program konsolidasi fiskal diterapkan. Hal ini akan ditandai dengan pengelolaan belanja yang prudent serta optimalisasi penerimaan pajak, baik pusat maupun daerah.

Kedua, postur penerimaan dan kebijakan pajak. Saat krisis 2008, PPN dan PPh karyawan menjadi sumber penerimaan pajak yang relatif stabil di banyak negara (Brondolo, 2009). Sementara itu, PPh badan yang notabene lebih sensitif terhadap goncangan ekonomi, umumnya merosot drastis.

Tidak mengherankan jika kebijakan pascakrisis 2008 banyak berkaitan dengan sektor PPN, entah itu peningkatan tarif, perluasan basis, ataupun pembenahan sistem teknologi informasi (TI) untuk menjamin kepatuhannya (LeBlanc et.al., 2013).

Ke depan, pola yang sama kemungkinan besar terjadi. Dibandingkan dengan jenis pajak lainnya, PPN relatif lebih tahan goncangan. Syaratnya ada dua. Selama supply shock tidak akan mendistorsi tingkat kenaikan harga secara umum dan daya beli masyarakat tidak terganggu.

Sayangnya, bayang-bayang gelombang PHK bisa berdampak signifikan baik atas PPN maupun PPh orang pribadi. Terlepas dari ancaman tersebut, pembaharuan kebijakan PPN sepertinya akan jadi agenda penting pascaterjadinya pandemi.

Ketiga, upaya mengoreksi penyebab krisis. Pascakrisis, pemerintah umumnya akan mencari penyebab dan mengantisipasi faktor yang sekiranya dapat memicu risiko yang sama di kemudian hari. Tengok saja agenda kebijakan pajak di sektor keuangan setelah 2008. Financial transaction tax, bank levy, hingga skema interest limitation rule jadi sorotan (Weber dan Marres, 2012).

Dari sudut pandang yang sama, koreksi semacam ini sepertinya akan berulang. Bukan tidak mungkin jika isu mengenai pajak lingkungan, instrumen fiskal dalam rangka pengendalian eksternalitas, serta redesain kebijakan untuk sektor kesehatan akan jadi agenda di masa mendatang.

Keempat, volatilitas regulasi dan reformasi pajak. Tekanan untuk menanggulangi defisit dan utang, serta upaya menjaga kestabilan ekonomi akan mendorong berbagai perubahan regulasi pajak. Urgensi melakukan reformasi, baik yang sifatnya komprehensif maupun piecemeal,  akan meningkat tajam. Ketidakpastian akibat berbagai perubahan sepertinya bakal menjadi ‘normal baru’.

Sama seperti krisis keuangan 2008, pandemi covid-19 juga kelihatannya akan membuat suara kelompok masyarakat semakin diperhitungkan. Akibatnya, tuntutan para pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam agenda reformasi pajak akan semakin banyak (Lang, 2016). Walau lebih menjamin akseptabilitas, reformasi pajak yang berupaya mengakomodasi berbagai kepentingan bisa menghasilkan sistem pajak yang lebih kompleks.

Kelima, kompetisi pajak. Krisis keuangan global 2008 maupun covid-19 pada intinya sama-sama berakibat buruk bagi perekonomian. Peran aktif sektor swasta dan aliran modal ke dalam negeri menjustifikasi kebutuhan mendorong daya saing (competitiveness) di tingkat global, termasuk melalui instrumen pajak (OECD, 2018).

Perubahan sistem pajak, gelontoran insentif, penurunan tarif baik PPh badan serta tarif pajak atas kapital tetap jadi favorit dan terus meningkat. Insentif pajak litbang dan untuk tujuan penyerapan tenaga kerja diprediksi akan menjadi menu andalan banyak negara.

Khusus atas situasi pasca covid-19, kompetisi pajak juga turut melibatkan jargon kedaulatan fiskal. Di masa mendatang, kebijakan pajak yang melindungi kepentingan nasional dan bersifat unilateral bakal tak terbendung.

Keenam, tren global tax governance. Krisis 2008 telah mendorong terwujudnya tata kelola pajak yang semakin baik di tingkat global (Dietsch dan Rixen, 2016). Program transparansi lewat pertukaran informasi dan kerjasama melawan penghindaran pajak melalui base erosion and profit shifting (BEPS) menjadi tonggak penting agenda pajak global. Kedua program tersebut didukung pula oleh empat organisasi internasional – OECD, UN, IMF, dan World Bank – dalam platform for collaboration on tax.

Pada masa yang akan datang, sentimen secara global akan memasuki fase baru yang mengarah kepada distribusi pajak yang lebih adil. Embrio dari filosofi tersebut pada hakikatnya telah tampak dari pilar 1 dan pilar 2 proposal pajak digital. Prediksi penting lainnya, dominasi OECD lambat laun berkurang dan bergeser kepada G20 dan emerging economies lainnya (Brauner dan Pistone, 2015).

Ketujuh, terobosan. Sama halnya dengan krisis 2008, setelah pandemi covid-19 ini usai, akan banyak diskusi menyoal terobosan dalam menambal penerimaan. Mau tidak mau perdebatan tersebut juga turut mempertanyakan mengenai siapa pihak yang selama ini belum patuh dan belum cukup berpartisipasi dalam pembayaran pajak. Sepuluh tahun yang lalu jawabannya ialah perusahaan multinasional. Ke depan, jawabannya bisa jadi high net worth individual (HNWI).

Isu ketimpangan akan jadi pemicunya (Vanistendael,2020). Pengalaman dari krisis sebelumnya menunjukkan dampak bagi ketimpangan, baik penghasilan dan aset, kian melebar. Penyesuaian threshold bagi kelompok berpenghasilan rendah, tarif progresif PPh orang pribadi, maupun pajak yang berbasis atas kekayaan akan semakin dipertimbangkan. Isu mengenai daftar dan pajak atas kekayaan global yang diperjuangkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga layak dicermati.

Kedelapan, strategi otoritas pajak untuk meningkatkan kepatuhan. Pandemi covid-19 memberikan pelajaran penting bagi seluruh otoritas pajak yaitu kesiapan administrasi pajak berbasis teknologi informasi (TI).

Ke depan, penggunaan TI akan dikembangkan tidak hanya atas pelayanan dan pelaporan, tapi juga meluas ke arah e-audit, e-access, dan penggunaan artificial intelligence. Prinsip administrasi pajak berbasis transparansi, efisiensi, dan real-time akan didukung sepenuhnya oleh TI.

Selain itu, tren penguatan otoritas pajak, perubahan proses bisnis dari kemampuan mengakses ke kemampuan mengolah informasi, serta perluasan paradigma cooperative compliance  (Darussalam, et al., 2018) diperkirakan akan meningkat. Semuanya itu demi optimalisasi kepatuhan pajak.

Terakhir, sengketa dan wajib pajak. Perubahan regulasi dan tingginya kebutuhan penerimaan diperkirakan akan meningkatkan jumlah sengketa. Prediksi ini hakikatnya mengulang pola yang terjadi pasca krisis 2008.

Bagi wajib pajak, kondisi ini akan menciptakan kebutuhan untuk tax assurance, pengelolaan risiko pajak (tax risk management) yang lebih baik, serta penerapan tax control framework dalam perusahaan (Russo, 2015). Permintaan akan mekanisme pencegahan dan penyelesaian sengketa yang efektif-efisien juga akan jadi game changer lanskap pajak ke depan.

Probabilitas terjadinya sembilan prediksi di atas tentu akan sangat berbeda-beda antarnegara. Lagi-lagi, jawabannya akan dipengaruhi seberapa lama dan seberapa dalam dampak covid-19 terhadap ekonomi. Biar waktu yang menjawabnya. (Disclaimer)

Artikel ini juga disajikan secara langsung dalam Webinar dengan topik ‘Pandemi Covid-19 & Prospek Pajak ke Depan’ yang digelar oleh DDTC Academy, Selasa (21/4/2020). Penulis, Partner Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji, menjadi pembicara bersama Research Coordinator DDTC Fiscal Research Denny Vissaro.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.