Budi Wiyanto,
HUKUM dibuat untuk melindungi kepentingan manusia (Mertokusumo, 2024). Demikian juga dengan hukum pajak.
Di satu sisi, hukum pajak dibuat untuk memberikan dasar yang kuat bagi pemerintah dalam memungut pajak. Di sisi yang lain, untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah dalam pemungutan pajak.
Kewenangan negara memungut pajak dari masyarakat sebagaimana diatur dalam konstitusi kemudian dijabarkan dalam banyak peraturan, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, dan peraturan di bawahnya.
Ketentuan perpajakan yang diatur dalam berbagai peraturan tersebut mencakup materi yang sangat luas, detail, nan rumit. Dengan pengaturan yang demikian kompleks, memang tidak mudah bagi publik untuk dipahami. Bahkan tidak jarang pemahaman terhadap ketentuan dan peraturan menimbulkan perbedaan tafsir.
Melihat fakta tersebut, tidak mustahil timbul sengketa pajak antara fiskus dengan para wajib pajak dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk melindungi hak-hak wajib pajak itulah, diperlukan sebuah lembaga yang independen sebagai tempat para wajib pajak mencari keadilan.
Dalam praktik di berbagai negara, masing-masing negara memiliki badan yang bertugas menyelesaikan sengketa pajak. Sebagian negara menyerahkan sengketa pajaknya ke badan peradilan, baik badan peradilan khusus pajak, peradilan umum, atau peradilan administrasi yang berada di bawah kekuasaan yudikatif.
Sementara itu, sebagian negara lainnya menyediakan semacam tribunal atau badan penyelesaian sengketa pajak yang umumnya di bawah kekuasaan eksekutif (Farihah dkk., 2025).
Negara-negara yang membentuk badan peradilan khusus pajak, antara lain Indonesia dan Amerika Serikat. Di Indonesia, sengketa pajak hanya dapat diajukan ke Pengadilan Pajak.
Berbeda dengan sistem di Indonesia, walaupun telah dibentuk badan peradilan khusus pajak (US Tax Court), wajib pajak Amerika Serikat juga dapat memilih untuk mengajukan sengketa pajaknya ke badan peradilan umum (US District Court) atau ke badan peradilan klaim federal (US Court of Federal Claims). Hanya saja, jika wajib pajak mau mengajukan sengketanya ke peradilan umum atau ke peradilan klaim federal harus melunasi lebih dahulu pajak yang disengketakan (Pratt, 1997).
Adapun negara-negara yang tidak membentuk badan peradilan pajak secara khusus dan menyerahkan sengketa pajaknya kepada badan peradilan umum atau badan peradilan administrasi antara lain Swedia, Korea Selatan, Afrika Selatan, Belgia, Belanda. Masing-masing negara ini juga memiliki pengaturan yang berbeda.
Negara lainnya seperti Spanyol tidak menyerahkan sengketa pajaknya kepada badan peradilan tetapi kepada badan semacam tribunal yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Adapun di Australia, wajib pajak dapat memilih mengajukan sengketa pajaknya ke badan peradilan umum atau ke tribunal (administrative appeals tribunal) yang berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa ternyata model penyelesaian sengketa pajak masing-masing negara berbeda-beda. Sulit dikatakan bahwa model penyelesaian sengketa pajak dari suatu negara lebih baik daripada model negara lain. Model apapun yang dipilih dapat menjadi baik asal mengikuti prinsip-prinsip yang baik dan benar sesuai dengan sistem hukum dan budaya masing-masing negara.
Untuk Indonesia sendiri, pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XXI/2023 pada 25 Mei 2023 yang menguji Undang-Undang Pengadilan Pajak, timbul peluang untuk menata kembali institusi Pengadilan Pajak.
Sebagaimana diketahui, dalam putusannya tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan agar pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan pada Pengadilan Pajak yang selama ini dilakukan oleh Kementerian Keuangan agar dialihkan ke Mahkamah Agung paling lambat 31 Desember 2026.
Pada pokoknya, putusan MK tersebut menggariskan agar ketentuan mengenai Pengadilan Pajak diperbaiki agar sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam konstitusi maupun dalam undang-undang mengenai kekuasaan kehakiman.
Guna mewujudkannya, diperlukan revisi atas UU Pengadilan Pajak yang bersifat mendesak. Namun, selain revisi untuk penyesuaian terhadap kaidah-kaidah kekuasaan kehakiman sebagaimana digariskan dalam putusan MK, terdapat beberapa kekhususan yang sebaiknya tetap dipertahankan.
Pertama, Pengadilan Pajak adalah satu-satunya badan peradilan yang berwenang mengadili sengketa pajak.
Hal ini akan membuat sistem peradilan menjadi lebih sederhana karena adanya kejelasan ke mana sengketa pajak hendak diajukan. Kekhususan ini juga mendorong kesamaan perlakuan atas sengketa-sengketa pajak.
Kedua, putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Walaupun tidak sama dengan jenjang peradilan lain yang bertingkat-tingkat yaitu peradilan tingkat pertama, banding, dan kasasi, serta dalam hal-hal tertentu peninjauan kembali, kekhususan ini perlu dipertahankan.
Keunggulan kekhususan ini adalah prosesnya menjadi lebih cepat untuk mencapai putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) dibanding dengan badan peradilan lain.
Walaupun asas peradilan adalah sederhana, cepat, dan biaya murah, seringkali apa yang dirasakan pencari keadilan tidaklah demikian. Terkadang, karena peradilan yang bertingkat-tingkat menyebabkan para pihak putus asa seolah-olah tidak ada keadilan. Kalaupun ada, butuh biaya yang tidak sedikit dan waktu lama yang mungkin sudah tidak relevan lagi.
Di samping keunggulan lebih cepatnya proses, ada juga kelemahannya yaitu jika hakimnya kurang cermat maka putusan tersebut tidak dapat dikoreksi kecuali dengan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali.
Ketiga, syarat menjadi hakim pada Pengadilan Pajak harus mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain.
Mengingat ketentuan perpajakan mencakup pengaturan yang sangat luas serta sangat detail dan rumit, syarat penguasaan ilmu perpajakan yang mendalam sangat relevan agar hakim dapat mengadili sengketa pajak dengan tepat dan objektif. Tanpa itu, sulit mengharapkan putusan yang adil dan berwibawa.
Ketiga kekhususan di atas perlu dipertahankan guna menjaga marwah Pengadilan Pajak sebagai benteng terakhir wajib pajak dalam menuntut keadilan. (sap)