Hasil voting pembentukan UN Tax Convention dalam sidang Majelis Umum PBB.
NEW YORK, DDTCNews - Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) merestui pembentukan konvensi kerja sama pajak internasional di bawah naungan PBB yang dijuluki UN Tax Convention.
Resolusi tentang pembentukan UN Tax Convention ini mendapatkan dukungan dari 125 negara, utamanya negara berkembang. Ada 48 negara yang menolak pembentukan badan ini. Penolakan disuarakan utamanya oleh negara-negara maju seperti AS, Inggris, Jepang, dan negara anggota Uni Eropa.
"Resolusi ini bukan sekadar dokumen kebijakan, melainkan juga merupakan bukti dari tekad bersama untuk mewujudkan perekonomian global yang lebih adil dan tangguh," ujar Perwakilan Nigeria di PBB Tijjani Muhammad-Bande, dikutip Kamis (23/11/2023).
Muhammad-Bande mengatakan kehadiran UN Tax Convention sebagai kerangka kerja sama yang bersifat inklusif diperlukan untuk merespons tantangan yang timbul akibat ketidakpastian ekonomi global dan perubahan iklim.
Menanggapi resolusi ini, Perwakilan Inggris di PBB Richard Croker mengatakan kerja sama perpajakan internasional sudah dilaksanakan secara inklusif dengan mengakomodasi kepentingan negara berkembangan melalui Inclusive Framework di OECD.
Croker pun mengatakan hadirnya UN Tax Convention justru akan menduplikasi proses kerja sama perpajakan. "Hal ini berisiko memecah belah sistem perpajakan internasional. Itu sebabnya kami dan beberapa pihak lain tidak mendukung resolusi pada hari ini," ujar Croker. (sap)
Dengan disetujuinya resolusi ini, Majelis Umum PBB sepakat untuk membentuk komite yang bersifat ad hoc dan terbuka yang bertugas menyusun terms of reference dari UN Tax Convention. Komite ad hoc ini diminta untuk menyelesaikan pekerjaannya menyusun terms of reference dari UN Tax Convention paling lambat pada Agustus 2024.
Selanjutnya, komite ad hoc harus menyampaikan laporan kepada Majelis Umum PBB dalam sidang ke-79 yang rencananya akan digelar pada September 2024.
Dalam menyusun terms of reference tersebut, komite diminta untuk mempertimbangkan kebutuhan, prioritas, dan kapasitas dari semua negara, terutama negara berkembang.
Terms of reference yang disusun oleh komite juga harus mempertimbangkan perlu adanya fleksibilitas yang memadai agar sistem perpajakan internasional mampu merespons perkembangan teknologi dan model bisnis terkini.
Terakhir, terms of reference yang disusun komite perlu memuat protokol-protokol awal yang diperlukan guna menjawab tantangan perpajakan yang timbul akibat aliran dana gelap (illicit financial flow) serta perkembangan cross border services di era digitalisasi dan globalisasi ekonomi saat ini.