Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Debt to equity ratio (DER) dinilai sudah tidak banyak digunakan oleh otoritas pajak di berbagai yurisdiksi untuk keperluan penghitungan pajak.
Oleh karena itu, pemerintah dan DPR RI melalui UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sepakat memperluas cakupan Pasal 18 ayat (1) UU PPh dengan memberikan kewenangan kepada menteri keuangan untuk mengatur batas jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk tujuan perpajakan adalah melalui persentase tertentu dari biaya pinjaman dibandingkan EBITDA.
"DER sudah tidak terlalu digunakan di banyak negara, yang dianggap lebih fair adalah menggunakan EBITDA," ujar Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama, dikutip Rabu (1/12/2021).
Bila merujuk pada ayat penjelas dari Pasal 18 ayat (1) PPh yang telah diubah dengan UU HPP, menteri keuangan memiliki kewenangan untuk menggunakan metode lain dalam menentukan batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk tujuan perpajakan.
Secara umum, menteri keuangan berwenang menetapkan batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan menggunakan metode yang lazim diterapkan di dunia internasional.
Untuk saat ini, menteri keuangan telah memiliki ketentuan mengenai besaran perbandingan utang dan modal atau DER untuk keperluan penghitungan pajak dengan PMK 169/2015. Pada PMK tersebut, DER ditetapkan paling tinggi sebesar 4:1.
Ketentuan DER dalam PMK 169/2015 dikecualikan bagi 6 wajib pajak, yaitu wajib pajak perbankan; pembiayaan; asuransi dan reasuransi; wajib pajak yang bergerak di bidang migas atau pertambangan; wajib pajak yang seluruh penghasilannya dikenai PPh final; dan wajib pajak yang menjalan usaha di bidang infrastruktur. (sap)