Menteri Keuangan Sri Mulyani. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah masih butuh waktu untuk mematangkan rencana implementasi pajak karbon.
Sri Mulyani mengatakan kebijakan pajak karbon telah diatur dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, implementasinya harus dilakukan secara hati-hati, terutama di tengah ancaman krisis pangan dan energi global.
"Rencana ini perlu terus dikalibrasi mengingat masih rentan dan rapuhnya pemulihan ekonomi kita, terutama akibat pandemi dan sekarang dilanda krisis pangan dan energi," katanya dalam HSBC Summit 2022 Powering the Transition to Net Zero, Rabu (14/9/2022).
Sri Mulyani mengatakan pengenaan pajak karbon diperlukan untuk menekan emisi dan mencegah perubahan iklim. Menurutnya, implementasi kebijakan tersebut tinggal menentukan momen yang paling tepat.
Pemerintah memasukkan pajak karbon dalam UU HPP sebagai bagian dari paket kebijakan komprehensif untuk memitigasi perubahan iklim. Kebijakan itu diharapkan mampu mengubah perilaku konsumsi energi masyarakat menjadi lebih ramah lingkungan.
Sebagai langkah awal, pajak karbon bakal dikenakan pada PLTU batubara. Jenis pajak ini semula direncanakan mulai berlaku pada 1 April 2022 dan sempat mundur menjadi 1 Juli 2022 karena menunggu kesiapan mekanisme pasar karbon. Meski demikian, sejauh ini kebijakan pajak karbon belum terimplementasi.
Sri Mulyani menyebut pemerintah juga telah menerbitkan Perpres 98/2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk mencapai target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional. Tidak hanya pajak karbon, skema perdagangan karbon juga bakal diterapkan agar dampaknya pada penurunan emisi makin besar.
"Kebijakan pajak karbon bukan hanya 1 instrumen yang berdiri sendiri. Ini paket kebijakan komprehensif untuk menurunkan emisi yang akan mendorong transisi dan ekonomi berkelanjutan," ujarnya. (sap)