ERA Globalisasi, yang salah satunya ditandai dengan adanya keterbukaan perdagangan (trade opennes), kerap memunculkan suatu polemik. Adapun polemik tersebut mencakup adanya dampak pada pekerja, iklim persaingan, serta dampak lingkungan dan standar sosial yang utamanya berkaitan dengan impor.
Pekerja berkeahlian rendah (low-skilled worker) di beberapa negara telah kehilangan pekerjaan. Salah satunya disebabkan banyaknya perusahaan dalam negeri yang tidak dapat bersaing dan terpaksa gulung tikar karena membludaknya produk impor.
Selain itu, globalisasi juga erat kaitannya dengan kemajuan teknologi. Hal ini menyebabkan terjadinya perpindahan struktur perusahaan dari yang awalnya bersifat padat karya (labor-intensive) menjadi padat modal (capital-intensive). Kondisi ini tentu berdampak pada ketenagakerjaan, khususnya bagi para pekerja yang tergolong dalam kategori low-skilled worker.
Perusahaan yang memiliki modal atau kapabilitas bermobilitas tinggi akan lebih sulit untuk dipajaki. Alhasil, pekerja yang akan menanggung beban pajak beserta penyesuaiannya. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan intervensi dengan kebijakan-kebijakan yang sejatinya merupakan suatu bentuk perlindungan sosial.
Sesuai dengan World Development Report (WDR) yang dirilis oleh World Bank Group pada tahun ini, pemerintah perlu menyeimbangkan kebijakan yang menyasar pada hambatan perdagangan barang dan jasa – seperti subsidi dan aktivitas badan usaha milik negara (BUMN) – dengan kebijakan yang bersifat proteksi seperti pengenaan pajak, penyediaan payung hukum, serta pembangunan infrastruktur yang memadai.
Tabel berikut menjabarkan area-area kebijakan yang dapat menciptakan konsekuensi negatif terkait kerja sama perdagangan serta solusi kooperatif yang dirasa dapat menguntungkan kedua belah pihak. Adapun area-area kebijakan yang dimaksud mencakup pengenaan bea, pemberian subsidi, persyaratan, pengenaan pajak, kebijakan investasi asing, regulasi persaingan, serta pembangunan infrastruktur.
Pertama, dalam hal pengenaan bea dan pembatasan lainnya, solusi kooperatif yang ditawarkan berbentuk kesepakatan bersama dalam hal pengurangan proteksi dan penyediaan payung hukum untuk mengurangi ketidakpastian kebijakan. Dengan demikian, tidak terjadi suatu tarik-ulur antara kedua negara dalam melakukan transaksi perdagangan.
Kedua, solusi kooperatif dalam memitigasi pemberian subsidi yang bersifat mengganggu, yaitu dengan adanya suatu kajian yang mendalam oleh pemerintah pada masing-masing jenis subsidi. Kajian yang berbasis data dan penelitian yang valid akan dapat membantu pemerintah dalam mengambil keputusan-keputusan yang tidak berdampak buruk bagi mitra dagang dan memengaruhi hubungan bilateral.
Ketiga, solusi kooperatif dalam hal aturan persyaratan lebih kepada adanya harmonisasi, pengakuan kedua belah pihak, serta payung hukum yang jelas pada para eksportir. Hal-hal tersebut diyakini dapat menurunkan biaya kepatuhan sehingga minat investasi asing pun dapat terjaga.
Selain itu, regulasi yang jelas, berkepastian, dan berimbang akan mendorong eksportir dari negara-negara mitra dagang untuk lebih memahami perspektif pemerintah dalam upaya melindungi konsumen, lingkungan, dan kekayaan intelektual
Keempat, solusi kooperatif dalam hal pajak penghasilan (PPh) badan dan kebijakan investasi asing mengacu pada koordinasi tarif pajak, yakni masalah Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), misalnya, pajak pertambahan nilai (PPN) yang berbasis destination-based.
Dengan demikian, perusahaan hanya dipajaki berdasarkan lokasi sumber penghasilan. Hal ini dapat mengurangi motivasi negara-negara dalam bersaing menurunkan tarif pajak demi membuat salah satu perusahaan untuk berdomisili dan melakukan usaha di yurisdiksinya masing-masing.
Kelima, solusi kooperatif dalam hukum persaingan, kepemilikan publik, dan kontrol lebih kepada kerjasama dan kajian yang dapat mengontrol perilaku perusahaan. Perilaku kooperatif dari para pelaku usaha akan menciptakan iklim investasi maupun perdagangan yang adil dan sehat.
Terakhir, solusi kooperatif pada investasi infrastruktur yang memfasilitasi perdagangan lebih kepada koordinasi investasi untuk mengeksploitasi sinergi lintas negara. Infrastruktur tersebut dapat secara optimal mengurangi biaya perdagangan dan menghindari underinvestment akibat kurangnya koordinasi.
Pada intinya, kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah sudah seharusnya mempertimbangkan berbagai konsekuensi yang ditimbulkan. Dengan demikian, pemerintah dapat menyeimbangkan fungsi proteksi sekaligus fungsi pendorong investasi atau kegiatan perdagangan. Dengan demikian, kebijakan yang optimal dan minim distorsi dapat dihasilkan.*