Aqila Bagus Misbahuddin,
HIRUK pikuk kontestasi pemilihan umum (pemilu) 2024 makin terasa. Gagasan demi gagasan dari para kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) telah dinantikan oleh masyarakat. Tak terkecuali, ide dan gagasan yang berkaitan dengan kebijakan pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara.
Publik menunggu pemikiran para peserta pemilu tentang pajak bukan tanpa alasan. Pasalnya, rasio pajak atau tax ratio Indonesia dinilai masih rendah.
Laporan Organization Economic for Co-operation and Development (OECD) menunjukkan rasio pajak Indonesia pada 2021 berada di peringkat 25 dari 29 negara Asia Pasifik (OECD, 2023). Peringkat tersebut hanya unggul dari Vanuatu, Bhutan, Pakistan, dan Laos. Padahal, penerimaan pajak menjadi salah satu penentu tinggi rendahnya rasio pajak. Ketika penerimaan pajak tinggi, tidak menutup kemungkinan rasio pajaknya juga tinggi.
Jika dibedah lebih mendalam, realisasi penerimaan pajak RI salah satunya ditopang oleh pajak pertambahan nilai (PPN). Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) mencatat PPN merupakan jenis pajak dengan penerimaan tertinggi setelah pajak penghasilan PPN. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa PPN memegang peranan penting untuk mencapai revenue productivity.
Namun, di balik besarnya potensi tersebut, PPN di Indonesia masih rentan akan praktik penggelapan pajak. Sebanyak 56% dari kasus penggelapan pajak pada 2020 adalah kasus faktur pajak fiktif dan kasus pajak dipungut tetapi tidak disetor (Ditjen Pajak, 2020). Tak tanggung-tanggung, nilai kerugian yang dialami negara mencapai Rp670 miliar.
Lantas bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan tersebut?
Implementasi Artificial Intelligence
MENURUT Collosa (2020), dalam administrasi pajak, artificial intelligence (AI) dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak, mengidentifikasi ketidakpatuhan pajak, dan mencegah penggelapan pajak. Hal tersebut juga didukung fakta bahwa AI dapat membantu dalam urusan audit secara real time.
Polandia menjadi salah satu negara yang menerapkan AI untuk mengatasi penggelapan PPN. Melalui cara tersebut, €133 juta atau sekitar Rp2,1 triliun potensi penggelapan PPN dapat teratasi (AlgorithmWatch, 2020).
Penulis menyodorkan dua solusi yang bisa diadopsi pemerintah Indonesia untuk mengatasi penggelapan PPN. Pertama, pemerintah perlu mengkaji lebih lanjut mengenai faktor pertimbangan risiko penghindaran PPN dan juga sanksinya.
Polandia sendiri menerapkan beberapa faktor, seperti transaksi tidak wajar, tempat transaksi, dan lain-lain termasuk sanksi berupa pembekuan akun rekening pengusaha.
Kedua, Ditjen Pajak (DJP) perlu melakukan kerja sama dengan beberapa pihak, tak terkecuali dengan perbankan sebagai perekam transaksi wajib pajak.
Langkah itu juga ditempuh otoritas pajak Polandia yang bekerja sama dengan lembaga keuangan termasuk perbankan terkait dengan transparansi data rekening dari pengusaha.
Tahap selanjutnya, AI akan mengumpulkan dan mengolah data secara otomatis. Kemudian, dari olahan data tersebut akan dihasilkan keputusan yang menentukan apakah transaksi tersebut tergolong penggelapan PPN atau tidak. Hasil analisis oleh AI tersebut bisa membantu otoritas pajak dalam melakukan pengawasan.
Tantangan-tantangan yang dihadapi pemerintah dalam meningkatkan rasio pajak menuntut para peserta pemilu 2024 untuk melahirkan gagasan-gagasan segar. Calon pemimpin bangsa masa depan perlu mengingat kembali bahwa PPN merupakan jenis pajak dengan kontribusi besar terhadap penerimaan pajak. Karenanya, pemungutan jenis pajak ini perlu diawasi secara optimal.
Melalui tulisan ini penulis menekankan bahwa PPN yang rentan penggelapan pajak dapat diatasi melalui implementasi AI. Hal tersebut dapat menjadi modal gagasan bagi para kontestan pemilu 2024 untuk beradu solusi atas masalah perpajakan Indonesia.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.