Ardian Mahardi Putera,
DESENTRALISASI fiskal yang berjalan sejak 2001 menjadi tonggak awal kemandirian daerah dalam pengelolaan keuangan. Argumentasi bahwa pemerintah daerah sendiri yang paling tahu tentang daerahnya makin memperkuat alasan perlunya desentralisasi fiskal. Skema ini merupakan cerminan dari sistem pemerintahan demokrasi. Hasil yang diambil dari daerah kembali lagi untuk daerah.
Namun, pelaksanaan desentralisasi fiskal bukan tanpa tantangan. Keberagaman karakteristik dan kondisi setiap daerah memberikan dinamika tersendiri dalam implementasinya. Adapun salah satu aspek penting dalam desentralisasi fiskal adalah kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah.
Melalui perkembangan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan pajak dan retribusi daerah, yang terakhir ditandai dengan berlakunya Undang-Undang (UU) Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pemungutan pendapatan asli daerah secara mandiri.
Dengan adanya pemisahan kewenangan dalam pemungutan pajak antara pemerintah pusat dan daerah, muncul garis batas otoritas yang jelas antara keduanya. Pemerintah pusat, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), mengelola pajak-pajak pusat. Sementara itu, pemerintah daerah menangani pajak-pajak daerah melalui badan pajaknya masing-masing.
Pemisahan kewenangan ini berpotensi memunculkan ego sektoral. Hal ini dikarenakan setiap otoritas bisa memiliki kecenderungan hanya fokus pada wilayah kewenangannya sendiri. Padahal, sejatinya, sinergi antara pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan agar keduanya dapat saling mendukung dan memberikan manfaat timbal balik untuk kepentingan Indonesia.
Konsep sinergi yang diperkenalkan oleh Igor Ansoff (1965) menggambarkan bahwa hasil kolaborasi dapat melampaui hasil yang diperoleh secara individual. Dengan analogi ‘1 + 1 = 3’, sinergi menunjukkan bahwa efek gabungan dari kerja sama dapat menghasilkan dampak yang jauh lebih besar dari sekadar penjumlahan sederhana.
Oleh karena itu, status quo yang saat ini terjadi antara DJP dan pemerintah daerah tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Diperlukan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan sinergi antara kedua belah pihak. Tujuannya tidak lain adalah agar penerimaan pajak pusat dan daerah dapat ditingkatkan secara signifikan.
DALAM konteks sinergi, pertukaran data antara DJP dan pemerintah daerah menjadi kunci. Data perpajakan ibarat senjata, sedangkan petugas pajak adalah prajuritnya. Kompetensi petugas pajak saja tidak cukup. Mereka juga harus didukung data berkualitas. Data yang dipertukarkan bisa dimanfaatkan secara bersama untuk penggalian potensi pajak yang lebih optimal.
Misalnya, data penjualan dari suatu restoran. Bagi DJP, data ini berguna untuk menghitung potensi omzet dan penghasilan wajib pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban pajak penghasilan (PPh). Sementara bagi pemerintah daerah, data penjualan tersebut relevan untuk pemungutan pajak restoran.
Contoh lainnya, data aset tanah, bangunan, dan kendaraan bermotor. Bagi DJP, data ini dapat digunakan untuk menganalisis harta dan menilai kewajaran penghasilan wajib pajak. Sementara bagi pemerintah daerah, data tersebut bermanfaat untuk pengenaan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) serta pajak progresif kendaraan bermotor.
Pertukaran dan pemanfaatan data tersebut sejatinya juga sejalan dengan agenda reformasi perpajakan yang tengah dijalankan DJP. Saat ini, DJP tengah membangun sistem administrasi yang baru atau dikenal dengan coretax administration system (CTAS). Dengan CTAS, pertukaran data diharapkan dapat berjalan lebih baik karena ada basis data yang terintegrasi.
Selain data, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat bertukar pengetahuan (knowledge). Terlebih, dalam konteks DJP, reformasi perpajakan sudah berjalan cukup panjang. Isnaeni (2021) menyampaikan otoritas pajak telah ada sejak September 1945 atau selang satu bulan setelah kemerdekaan Republik Indonesia dengan nama Pejabatan Pajak.
Proses Panjang berpuluh-puluh tahun telah menempa DJP menjadi suatu organisasi yang menuju ideal. Success story dari DJP dalam menjalankan reformasi birokrasi dan reformasi perpajakan dapat dijadikan pedoman dan contoh oleh tiap pemerintah daerah.
Pertukaran pengetahuan dapat berupa praktik pelaksanaan siklus perpajakan dari hulu ke hilir, dari pendaftaran wajib pajak, pengawasan wajib pajak, hingga penagihan pajak. Pemerintah daerah dapat mengadaptasi sistem pendaftaran online seperti e-registration untuk pendaftaran wajib pajak daerah. Kemudian, pemerintah daerah juga dapat mengadaptasi pembentukan jabatan teknis seperti account representative, penyuluh pajak, dan pemeriksa pajak.
Sebaliknya, pemerintah daerah membagikan pengetahuan mengenai penguasaan wilayah dan wawasan kearifan lokal kepada DJP. Dengan demikian, pendekatan DJP dalam menjalankan tugas di daerah dapat berjalan dengan efektif dan adaptif. Pendidikan dan pelatihan bersama dapat dilakukan sebagai media berbagi pengalaman dan pengetahuan.
MUARA dari sinergi tersebut adalah kepatuhan perpajakan. Pengujian kepatuhan atas kewajiban perpajakan dengan sistem self-assesment dilakukan melalui mekanisme pemeriksaan pajak. Pemeriksaan dilakukan guna memastikan pemenuhan kewajiban perpajakan telah dilakukan secara benar, baik dari aspek formal maupun material.
Pemeriksaan bersama (joint audit) antara DJP dan pemerintah daerah perlu dilaksanakan untuk mengoptimalkan potensi penerimaan pajak sehingga memberikan manfaat bagi kedua pihak. Ruang lingkup pemeriksaan dapat mencakup objek pajak berbasis self-assessment, seperti PPh, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan.
Seperti diketahui, asas fiksi hukum menyatakan bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan, setiap orang dianggap telah mengetahuinya (presumption iures de iure). Ketidaktahuan tidak dapat dijadikan alasan untuk membebaskan atau memaafkan seseorang dari tuntutan hukum (ignorantia juris non excusat).
Namun, menyamaratakan bahwa seluruh lapisan masyarakat dapat memahami dan memaknai suatu aturan dengan baik adalah kurang tepat dari sisi kemanusiaan. Apalagi, ada variasi demografi penduduk Indonesia yang memiliki tingkat pendidikan beragam. Keterbatasan akses informasi dan kompetensi menjadi masalah yang tak dapat diabaikan.
Oleh karena itu, edukasi terkait peraturan perpajakan sangat diperlukan untuk menjembatani kesenjangan (gap) antara regulasi dan pemahaman masyarakat. Edukasi ini harus dilaksanakan secara kolaboratif oleh DJP dan pemerintah daerah sehingga pemahaman terkait perpajakan dapat diperoleh secara menyeluruh dan merata. Program edukasi dapat berupa kelas pajak, seminar pajak, atau focus group discussion (FGD) dengan wajib pajak.
Untuk menjalankan berbagai aspek di atas, kesiapan regulasi dan teknologi informasi merupakan dua aspek penting yang perlu diperhatikan. Regulasi terkait dengan kerja sama antara DJP dan pemerintah daerah harus segera disusun dan ditetapkan agar langkah-langkah konkret di atas dapat dilaksanakan secara efektif.
Aturan yang jelas serta pemanfaatan teknologi informasi akan menjadi kunci keberhasilan implementasi sinergi ini. Dengan demikian, diharapkan penerimaan pajak yang merupakan bahan bakar pembangunan dapat meningkat secara signifikan. Target rasio pendapatan negara sebesar 23% terhadap PDB diharapkan juga dapat terwujud.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.