SETELAH mengenal sekilas mengenai presumptive tax dan kaitannya dengan sektor ekonomi yang sulit dipajaki dalam dua artikel kelas kebijakan pajak sebelumnya, kali ini akan ada pembahasan mengenai jenis-jenis presumptive tax.
Seperti dijelaskan dalam artikel kelas kebijakan pajak dengan topik presumptive tax pada seri pertama, penghitungan presumptive tax dapat diterapkan dalam bentuk penggunaan basis penghitungan pajak tertentu yang berupa tarif tertentu yang dikalikan dengan penghasilan bruto untuk menghasilkan nilai yang dianggap merepresentasikan penghasilan neto.
Desain presumptive tax pada dasarnya sangat beragam. Desain presumptive tax akan sangat tergantung dari kebutuhan spesifik maupun permasalahan yang muncul dari pemberlakuan rezim pajak normal di masing-masing negara (Thuronyi, 2004).
Kebijakan ini dapat diimplementasikan pada berbagai jenis pajak. Meskipun demikian, jenis pajak yang umumnya terkait dengan implementasi presumptive tax adalah pajak penghasilan.
Desain Pajak
TERDAPAT beberapa cara dalam mendesain kebijakan presumptive tax. Subjek pajak umumnya ditentukan berdasarkan identifikasi wajib pajak potensial yang belum melaksanakan pembayaran pajak secara tertib. Penentuannya juga dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan untuk melakukan pemantauan dan penegakan administrasi pajaknya (administrative feasibility).
Basis pajak presumptive tax dapat dirancang berdasarkan tiga metode umum. Metode pertama adalah penghitungan ulang penghasilan (reconstruction of income). Metode kedua adalah persentase dari penerimaan bruto dan metode ketiga adalah persentase dari kepemilikan dan nilai aset. (Thuronyi, 2004)
Metode penghitungan ulang penghasilan dilakukan apabila wajib pajak gagal dalam melakukan pembukuan. Selain itu, metode ini dapat diterapkan apabila jumlah 'penghasilan yang sebenarnya' sulit untuk dilacak. Penghasilan wajib pajak tersebut pada akhirnya dihitung ulang oleh pihak fiskus bisa dari melalui beberapa jenis estimasi.
Estimasi yang secara umum digunakan dalam metode tersebut adalah estimasi pendapatan bersih (net worth method), estimasi pengeluaran (expenditure method), ataupun dari estimasi arus kas bank (bank deposit method). Namun demikian, dalam hal metode penghitungan ulang penghasilan, perlu diwaspadai potensi terjadinya kolusi antara otoritas dan wajib pajak.
Metode kedua adalah berdasarkan persentase dari penerimaan bruto. Berdasarkan metode ini, tarif pajak yang diberikan adalah lebih rendah apabila dibandingkan dengan tarif normal (tarif minimum).
Metode ini umumnya hanya berlaku bagi subjek pajak di industri tertentu dan/atau dengan karakteristik penghasilan tertentu. Besaran pajak terutang akan dihitung berdasarkan tarif tertentu dikalikan dengan penghasilan bruto wajib pajak.
Namun demikian, metode ini hanya diterapkan pada penghasilan bruto yang mudah diaudit. Walaupun tampak sederhana, metode ini cenderung 'kurang adil' terhadap wajib pajak. Terutama bagi wajib pajak dalam kondisi merugi, karena metode ini hanya memperhitungkan penghasilan bruto dan tidak memperhitungkan biaya-biaya yang ditanggung oleh wajib pajak (Bird, 2003).
Metode ketiga adalah didasarkan pada persentase nilai aset. Berdasarkan metode ini, pajak terutang dihitung berdasarkan tarif minimum tertentu dikalikan nilai aset wajib pajak. Nilai aset dapat berupa total aset (gross asset), total aset setelah dikurangi total utang (net asset), ataupun total aset dikurangi jenis kewajiban lainnya.
Selain ketiga metode tersebut, presumptive tax dapat didesain dengan memperhatikan sektor usaha tertentu yang sulit untuk dipajaki. Presumptive tax juga dapat diterapkan berdasarkan jenis gaya hidup individu, seperti misalnya kepemilikan barang berharga (Thuronyi, 2004).
Demikian penjelasan mengenai desain presumptive tax. Anda bisa memperdalam pemahaman mengenai salah satu bentuk pemajakan tersebut dengan membaca seri kelas kebijakan pajak topik presumptive tax selanjutnya. Jangan lewatkan! *