SUATU perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) akan dianggap sebagai sumber hukum di suatu negara harus melalui proses ratifikasi atau pengesahan. Proses ratifikasi ini dilakukan atas dasar ketentuan hukum perjanjian internasional di masing-masing negara yang mengadakan perjanjian.
Di banyak negara, proses ratifikasi P3B harus melalui persetujuan lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Ketika P3B sudah diratifikasi oleh suatu negara maka harus diberitahukan kepada negara mitranya.
Pada umumnya, ratifikasi P3B di banyak negara dilakukan melalui persetujuan lembaga perwakilan rakyat atau parlemen seperti yang dilakukan oleh negara Kanada, Inggris, Amerika Serikat, Belgia, Luxemburg, Jerman, Austria, Meksiko, Belanda, Finlandia, Yunani, Spanyol, Swedia, dan Norwegia.
Sedangkan di Indonesia, berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, proses ratifikasi P3B tidak melalui persetujuan oleh DPR, tetapi cukup dilakukan dengan penerbitan Keputusan Presiden yang kemudian diberitahukan kepada DPR.
Pengesahan P3B yang tidak melalui persetujuan DPR ini sebenarnya tidak sesuai dengan semangat Pasal 11 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.
Apabila terdapat benturan antara P3B dan undang-undang pajak domestik terhadap ketentuan yang mengatur hal-hal yang sama maka yang diberlakukan adalah ketentuan P3B. Alasannya:
Pertama, P3B adalah perjanjian internasional yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yang tunduk dengan hukum perjanjian internasional. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dalam P3B harus dilaksanakan dengan niat baik (good faith).
Kedua, P3B merupakan rekonsiliasi antara ketentuan perundang-undangan domestik masing-masing negara yang mengadakan perjanjian. Selain itu, tujuan dari P3B adalah untuk membatasi ketentuan yang terdapat dalam perundang-undangan pajak domestik masing-masing negara.
Ketiga, P3B adalah bentuk kompromi masing-masing negara yang mengadakan perjanjian. Oleh karena merupakan sebuah kompromi, apabila terjadi benturan ketentuan, tentunya P3B yang lebih diutamakan.
Keempat, P3B pada dasarnya merupakan ketentuan yang bersifat spesialis terhadap ketentuan perpajakan dari negara yang mengadakan perjanjian. Jadi, berdasarkan prinsip ”lex specialis derogat legi generali”, kedudukan P3B berada di atas ketentuan perpajakan domestik.