Gefangennahme von Prinz Diponegoro 1847, Raden Saleh
NAMANYA Mustahar. Nama itu diambil dari bahasa Arab. Artinya ‘penuntut kesucian’. Sewaktu ia lahir, sebuah nujuman terbit: Ia akan memberi kerusakan lebih banyak kepada Belanda ketimbang yang sudah dilakukan kakek buyutnya. Namun, hanya Tuhan yang tahu akhir ceritanya.
Penujum itu, Sultan Hamengkubuwono I, adalah kakek buyutnya sendiri. Ayahnya bernama Raden Mas Surojo, yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono III. Ibunya seorang selir bernama Raden Ayu Mangkarawati. Saat melahirkan, ibunya baru berusia 14 tahun dengan suami 16 tahun.
Mengingat ibunya yang belia, juga karena amanat kakek buyutnya, ia lalu diasuh nenek buyutnya, Ratu Ageng, permaisuri Sultan Hamengkubuwono I. Ketika berusia 7 tahun, kakek buyutnya wafat, dan tahta kesultanan pun diserahkan ke kakeknya, Raden Mas Sundoro, Sultan Hamengkubuwono II.
Namun, saat itu Ratu Ageng mulai merasakan ketidakcocokan dengan gaya hidup keraton. Ia melihat Sultan Hamengkubuwono II kian permisif dan menyepelekan tuntunan agama. Kecewa berat, akhirnya ia keluar dari keraton dengan membawa Mustahar. Ia pergi ke Tegalrejo, sekitar 5 km dari keraton.
Di kawasan tersebut, Ratu Ageng mengasuh Mustahar, dan secara khusus memberikan pendidikan dan pengajaran ilmu agama. Ratu Ageng sendiri meminta beberapa guru dan pemuka agama untuk menjadi guru langsung cicitnya. Dari mereka itulah, Mustahar mulai mendalami ilmu agama.
Pada usia 20 tahun, Sultan Hamengkubuwo II memanggilnya. Ia diberi nama Raden Mas Ontowiryo. Sejak itu, ia tinggal di keraton, tapi masih bolak-balik dari Tegalrejo. Ternyata ia lebih kerasan hidup bersama rakyat. “Jangan berbuat aniaya terhadap rakyat banyak,” katanya dalam Babad Diponegoro.
Berselang 7 tahun, setelah ayahnya kembali naik tahta menggeser Sultan Hamengkubuwono II yang dibuang Inggris ke Penang, ia mendapat nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara. Tak lama setelah itu, ayahnya menawarinya tahta. Namun, ia menolak karena menyadari ibunya yang hanya selir.
Sultan Hamengkubuwono II lantas memberikan tahta ke anak permaisurinya, Raden Mas Ibnu Jarot. Karena Jarot masih 10 tahun, Paku Alam I lalu ditunjuk sebagai walinya dibantu Patih Danuredja IV, mantan pejabat Bupati Japon yang pernah diusulkan Diponegoro menggantikan Patih Danuredja III.
Dari situlah kekuasaan Patih Danuredja IV mulai membesar. Ia menggalang kekuatan bersama Belanda untuk mengamankan keraton. Ia juga mengaktivasi puluhan jenis pajak, mulai dari pacumpleng, wilah-welit, pagendel, paniti, paletre, pakeplop, pangawang-awang, pacigar, cukai tol, dan seterusnya.
Kekecewaan Diponegoro dengan pemungutan pajak yang didukung Belanda itu kian besar tatkala mengetahui keserakahan Patih Danuredja IV. Di puncak kemuakannya, seperti dilansir Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 oleh Peter Carey, ia menempeleng Patih Danuredja IV dengan selop.
Segera setelah peristiwa itu, Diponegoro pun hengkang dari keraton dan menetap di Tegalrejo, sampai akhirnya kawasan tersebut digeruduk tentara Belanda, dan dibakar. Namun, ia berhasil lolos dan melarikan diri ke Gua Selarong, sekitar 16 km ke arah selatan. Hari itu, Perang Jawa telah pecah.
Di Goa Selarong, Diponegoro mulai mengonsolidasikan pasukannya. Ia yang menentang Belanda secara terbuka, dan menyeru dilakukannya Perang Sabil, mulai menuai simpati dan dukungan rakyat. Hampir 60% pangeran di keraton mendukungnya, juga pemuka agama, sekaligus para bandit desa.
Pergerakan pasukannya kian meluas ke Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang. Lalu menyebar ke timur hingga ke Madiun, Magetan, Kediri dan sekitarnya. Ratusan kyai terlibat dalam pasukan itu. Ia juga mengangkat Kyai Mojo dan Sentot Prawirodirdjo sebagai panglima perangnya.
Pada Desember 1828, di tengah kian sulitnya pendanaan dan logistik yang dialami pasukan, Sentot meminta agar Diponegoro memberikannya kekuasaan untuk memimpin seluruh pasukan sekaligus menarik pajak secara langsung dari rakyat. Tentu saja, situasi ini mengganggu batin Diponegoro.
Ia khawatir jangan-jangan rakyat kebanyakan bakal tertindas jika Sentot—yang terkenal suka hidup boros—diizinkan memegang tanggung jawab militer sekaligus pemerintahan. “Jika orang yang memegang pedang juga memegang uang, bagaimana? Apa tidak terbengkalai?” kata Diponegoro.
Namun, ia akhirnya setuju membagi uang pajak—sesuatu yang disesalinya. Terbukti, saat Belanda membangun benteng di Nanggulan, Kulonprogo, Sentot tidak segera bereaksi karena sibuk dengan urusan keuangan. Ketika Sentot menyerang, benteng itu sudah terlalu kuat ditembus.
Selama 5 tahun perang itu, Belanda kehilangan 15.000 tentara dan kas 20 juta gulden. Sementara penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000. “Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa,” kata Diponegoro. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.