RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 26 atas pembayaran jasa kepada pihak yang berkedudukan di luar negeri.
Dalam perkara ini, otoritas pajak melakukan koreksi DPP PPh Pasal 26 atas transaksi pembayaran jasa aligning mission and environment yang dilakukan wajib pajak kepada X Co. Adapun X Co berdomisili di Amerika Serikat (AS).
Otoritas pajak berpendapat transaksi pembayaran jasa luar negeri seharusnya terutang PPh Pasal 26. Hal itu dikarenakan wajib pajak tidak dapat melampirkan Surat Keterangan Domisili (SKD) milik X Co selaku penerima penghasilan yang berdomisili di luar negeri. Dengan demikian, ketentuan dan fasilitas yang diatur dalam P3B antara Indonesia dan AS tidak dapat diterapkan.
Sebaliknya, wajib pajak berpendapat atas pembayaran jasa kepada X Co terutang pajak di negara domisili X Co. Dalam hal ini, wajib pajak telah melampirkan SKD yang menyatakan bahwa X Co merupakan entitas yang berdomisili di AS. Dengan demikian, atas transaksi pembayaran jasa tersebut tidak termasuk dalam objek PPh Pasal 26.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Kemudian, pada tingkat PK, Mahkamah Agung menolak Permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Terkait dengan koreksi DPP PPh Pasal 26 atas pembayaran jasa luar negeri, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi yang dilakukan oleh otoritas pajak tidak sepenuhnya tepat.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 57025/PP/M.XVA/13/2014 tanggal 10 November 2014, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 23 Februari 2015.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah adanya koreksi positif DPP PPh Pasal 26 yang berasal dari pembayaran jasa luar negeri senilai Rp225.382.630 untuk masa pajak September 2010.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Pemohon PK tidak setuju dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tidak mempertahankan koreksi DPP PPh Pasal 26 yang dilakukannya senilai Rp225.382.630.
Dalam perkara ini, Termohon PK menerima jasa aligning mission and environment dari X Co selaku penyedia jasa yang merupakan single member LLC. Terhadap jasa tersebut, Termohon PK memberikan imbalan kepada X Co. Menurut Pemohon PK, atas imbalan yang diterima X Co seharusnya terutang PPh Pasal 26 atas jasa luar negeri dengan tarif sebesar 20%.
Besaran tarif yang dimaksud diberikan karena Termohon PK tidak dapat menyertakan SKD milik X Co yang berdomisili di luar negeri. Akibatnya, Termohon PK tidak dapat memanfaatkan fasilitas yang diatur dalam P3B antara Indonesia dan AS.
Lebih lanjut, Termohon PK menyatakan imbalan atas jasa luar negeri dapat dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 26 dengan syarat Termohon PK melampirkan SKD dari X Co. Namun, Termohon PK tidak menyerahkan SKD dari X Co kepada Pemohon PK selaku otoritas pajak.
Dalam hal ini, Termohon PK justru menyertakan SKD milik Y Co selaku beneficial owner X Co dan bukan SKD milik X Co. Oleh karena itu, atas transaksi pembayaran jasa aligning mission and environment kepada X Co merupakan objek PPh Pasal 26 dan harus dipotong pajak dengan tarif 20%.
Sebaliknya, Termohon PK tidak sependapat dengan pernyataan Pemohon PK. Termohon PK berpendapat, atas transaksi pembayaran jasa aligning mission and environment kepada X Co bukan merupakan objek PPh Pasal 26.
Dengan begitu, transaksi pembayaran jasa dari Termohon PK kepada X Co tersebut tidak terutang pajak di Indonesia, tetapi di AS sebagai negara domisili dari X Co. Hal ini sebagaimana diatur dalam P3B antara Indonesia dan AS.
Berkaitan dengan SKD, Termohon PK telah melampirkan SKD untuk membuktikan bahwa X Co merupakan entitas yang berdomisili di AS. Kemudian, tindakan Termohon PK sudah benar ketika melampirkan SKD milik Y Co yang merupakan beneficial owner dari X Co. Sebab, X Co merupakan single member LLC yang kewajiban perpajakannya didasarkan pada kepemilikan pribadi. Dengan demikian, Y Co selaku beneficial owner merupakan satu kesatuan dengan X Co.
Berdasarkan pada uraian di atas, Termohon PK berpendapat bahwa atas transaksi pembayaran jasa kepada X Co bukan merupakan objek PPh Pasal 26. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan.
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 57025/PP/M.XVA/13/2014 yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding sudah tepat dan benar. Terdapat 2 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan-alasan atas koreksi DPP PPh Pasal 26 masa pajak September 2010 senilai Rp225.382.630 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan para pihak, koreksi Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan.
Kedua, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.