RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa kepabeanan mengenai perbedaan interpretasi klasifikasi pos tarif impor susu bayi berupa lactogen with DHA. Perbedaan penetapan pos tarif tersebut menyebabkan adanya perbedaan nilai bea masuk yang dibayarkan.
Dalam perkara ini, wajib pajak mengimpor lactogen with DHA dari Filipina. Otoritas bea dan cukai menetapkan barang impor tersebut sebagai makanan olahan untuk bayi. Otoritas menetapkan bahwa barang impor tersebut diklasifikasikan ke dalam pos tarif HS.1901.10.29.00 dengan bea masuk 5%.
Sebaliknya, wajib pajak berpendapat barang tersebut bukan termasuk makanan olahan, melainkan susu bayi. Oleh sebab itu, barang tersebut lebih tepat termasuk ke dalam pos tarif HS.0402.29.10.00 dengan bea masuk 0%.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, Mahkamah Agung juga menolak permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan klasifikasi pos tarif yang dilakukan oleh otoritas bea dan cukai. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat tindakan otoritas sudah benar dalam menetapkan barang impor berupa lactogen with DHA ke dalam pos tarif HS.1901.10.29.00 dengan bea masuk 5%.
Atas permohonan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. PUT-16898/PP/M.II/19/2009 tertanggal 27 Januari 2009, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 8 Mei 2009.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah penetapan klasifikasi pos tarif atas impor barang berupa lactogen with DHA.
PEMOHON PK selaku wajib pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK tidak setuju dengan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam menentukan klasifikasi pos tarif lactogen with DHA dengan besaran tarif bea masuk 5%. Keputusan itu menyebabkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) sejumlah Rp9.811.794.
Sebagai informasi, Pemohon PK merupakan penjual eceran berbagai produk makanan dan minuman, termasuk susu bayi. Untuk melakukan kegiatan usahanya, Pemohon PK terlebih dahulu mengimpor produk tersebut dari Filipina.
Dalam proses importasi susu bayi tersebut, Pemohon PK menggunakan fasilitas common effective preferential tariff (CEPT). Penggunaan CEPT umumnya dilakukan terhadap produk yang diimpor langsung dari negara Asean lainnya. Penggunaan fasilitas tersebut dilengkapi dengan surat keterangan asal (form D) dengan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) No. 010863 tertanggal 6 Maret 2006.
Selanjutnya, dalam PIB yang dimaksud tercantum bahwa klasifikasi barang impor adalah lactogen with DHA dengan pos tarif HS.0402.29.10.00 dan dikenakan bea masuk sebesar 0%. Atas PIB tersebut, Termohon PK kemudian menerbitkan Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk (SPKPBM) tertanggal 12 April 2007 kepada Pemohon PK.
Melalui surat tersebut, Termohon PK selaku otoritas bea dan cukai menetapkan bahwa terdapat kesalahan klasifikasi pos tarif atas barang impor milik Pemohon PK. Dalam SPKPBM tersebut, lactogen with DHA dianggap sebagai makanan olahan dan diklasifikasikan ke dalam pos tarif HS.1901.10.29.00 dengan bea masuk 5%. Adapun penetapan pos tarif tersebut dilakukan dengan berdasarkan pada Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan).
Menurut Pemohon PK, penetapan klasifikasi pos tarif untuk produk lactogen with DHA yang dilakukan Termohon PK tersebut tidak tepat. Sebab, berdasarkan pada catatan penjelasan untuk harmonized system, suatu produk dapat diklasifikasikan ke dalam HS.1901.10.29.00 apabila produk tersebut merupakan makanan olahan dari susu yang diperoleh dengan cara menggantikan satu atau lebih unsur-unsur pada susu dengan zat lainnya. Dengan begitu, karakter utamanya sebagai susu menjadi hilang.
Pada faktanya, Pemohon PK menyatakan bahwa tidak ada penggantian satu atau lebih unsur utama susu dalam proses produksi lactogen with DHA. Dengan demikian, karakter utamanya sebagai susu tidak hilang. Selain itu, Pemohon PK menambahkan bahwa produk tersebut merupakan susu formula bayi pengganti air susu ibu (PASI) yang sangat berguna untuk perkembangan bayi yang optimal.
Sebaliknya, Termohon PK tidak sependapat dengan pernyataan Pemohon PK. Menurutnya, terdapat bahan-bahan tambahan yang ditambahkan ke dalam produk lactogen with DHA. Bahan tambahan tersebut membuat lactogen with DHA tidak dapat memenuhi kriteria sebagai susu. Kriteria yang dimaksud diatur dalam Bab 4 dan Bab 19 catatan penjelasan untuk harmonized system.
Di samping itu, Termohon PK juga beralasan bahwa produk tersebut sudah dibuat dalam bentuk kemasan. Oleh karena itu, lactogen with DHA tidak dapat diklasifikasikan lagi sebagai susu, tetapi olahan makanan berbahan dasar susu untuk bayi yang sudah disiapkan untuk penjualan eceran.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Termohon PK menyatakan bahwa lactogen with DHA dianggap sebagai makanan olahan dan diklasifikasikan ke dalam pos tarif HS.1901.10.29.00 dengan bea masuk 5%. Artinya, klasifikasi pos tarif yang diberitahukan Pemohon PK di dalam PIB tidak tepat. Dengan demikian, koreksi yang dilakukannya sudah benar dan dapat dipertahankan.
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Adapun Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding dinyatakan sudah tepat dan benar.
Dalam putusan PK ini, Mahkamah Agung menyatakan penetapan nilai pabean yang dilakukan oleh Termohon PK sudah tepat. Mahkamah Agung menilai bahwa lactogen with DHA termasuk ke dalam pos tarif HS.1901.10.29.00. Sesuai dengan BTBMI 2004, jenis barang dengan pos tarif HS.1901.10.29.00 tersebut dikenakan tarif bea masuk CEPT 5%.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.