ANALISIS PAJAK

Haruskah Robot Dipajaki?

Redaksi DDTCNews
Selasa, 09 Oktober 2018 | 21.04 WIB
ddtc-loaderHaruskah Robot Dipajaki?
DDTC Consulting

DALAM laporan berjudul “The Future of Jobs 2018”, World Economic Forum (WEF) memprediksi robot akan menggantikan pekerjaan manusia di masa depan. Menurut ramalan WEF, robot bisa menangani 52% pekerjaan manusia pada tahun 2025. Cara bekerja akan berubah seiring dengan meningkatnya pemanfaatan mesin dan komputer serta teknologi yang terotomatisasi.

Kembali ke tahun 1913, ketika Henry Ford pertama kali memperkenalkan assembly line otomatis dalam perakitan mobil secara masal, dunia bergerak menuju ke era otomatisasi.

Kurang lebih 50 tahun setelahnya, John F. Kennedy berujar tentang tantangan dari teknologi terotomatisasi bagi masyarakat Amerika Serikat di kala itu: “But I regard it as the major domestic challenge, really, of the ‘60s, to maintain full employment at a time when automation, of course, is replacing men” (www.jfklibrary.org, diakses 29 September 2018).

Di masa depan, mobil tanpa pengemudi bakal menjadi tren. Jika tren itu menyentuh, misalnya, taksi atau truck tanpa pengemudi, hal itu bisa mengakibatkan banyak pengemudi kehilangan pekerjaannya di masa yang akan datang.

Era otomatisasi dan penggunaan robot niscaya berdampak pada anggaran negara, permasalahan kesenjangan, dan kehilangan pekerjaan. Penggunaan robot berpotensi memengaruhi penerimaan negara dari pajak. Jika penggunaan satu robot dapat menggantikan peran dari tiga karyawan, penerimaan pajak penghasilan (PPh) yang berasal dari gaji karyawan berpotensi hilang.

Penggunaan robot juga bisa mengurangi penerimaan pajak dari PPh perusahaan jika biaya untuk memperoleh robot boleh untuk disusutkan. Dari sisi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), penggunaan robot bisa mengurangi penerimaan negara mengingat umumnya robot tidak melakukan konsumsi layaknya manusia.

Penggunaan robot yang menggantikan peran manusia juga bersinggungan dengan isu kesenjangan ekonomi. Hal itu disebabkan penggunaan robot yang menggantikan peran manusia bisa mengurangi upah pekerja dan menambah keuntungan bagi pemilik robot (Mazur, 2018). Dengan begitu, modal cenderung terpusat hanya di sebagian kecil masyarakat.

Bill Gates mendukung pemajakan atas robot sama seperti seandainya robot adalah manusia. Ide dibaliknya adalah untuk mengurangi eksternalitas negatif yang timbul dari pekerjaan yang sama yang sama-sama bisa dilakukan oleh manusia dan robot, di mana manusia dikenakan pajak penghasilan atas penghasilan dari pekerjaan itu, sedangkan robot tidak dikenakan.

Menurut para pendukungnya (Oberson, 2017), Robot Tax dapat melindungi tersedianya lapangan kerja bagi manusia dengan meningkatkan biaya penggunaan robot yang relatif sama dengan penggunaan manusia.

Jika robot hendak dikenakan PPh, robot harus memenuhi persyaratan sebagai subjek pajak yang memperoleh atau menerima penghasilan berupa tambahan kemampuan ekonomis baik dari dalam maupun dari luar negeri yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Untuk itu, materi aturan terkait pengenaan PPh atas robot harus memuat definisi tentang robot sebagai subjek pajak dan mengatur status kewajiban subjektif dari robot. Agar dapat dikenakan PPh, robot juga harus memiliki ability to pay yang mencerminkan tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh atau diterimanya. Walaupun demikian, tidak jelas apakah robot dapat menggunakan tambahan kemampuan ekonomisnya itu untuk konsumsi atau menambah kekayaannya.

Menurut Englisch (Englisch, 2018), sepanjang robot tidak memiliki self-defined needs, pemajakan atas robot sebaiknya menyasar kepada pajak atas penggunaan robot, bukan kepada pajak atas robot itu secara pribadi.

Definisi robot harus memuat unsur-unsur yang jelas, pasti, dapat dipraktikkan, dan dapat dijustifikasi. Di awal tahun 2017 (European Parliament, 2017), Uni Eropa telah memberikan status subjek hukum kepada robot dalam rangka memfasilitasi interaksi robot dengan subjek hukum lainnya atau untuk bertanggungjawab atas kerusakan yang disebabkannya (electronic personality). Walaupun demikian, Uni Eropa menolak ide Robot Tax sehingga robot tidak mempunyai status sebagai taxable person.

Jika tujuan dari Robot Tax adalah untuk menghindari penurunan penerimaan akibat penggunaan robot dan menjamin tersedianya lapangan kerja bagi manusia, definisi robot harus mencakup secara luas semua jenis teknologi  terotomatisasi yang dipergunakan oleh perusahaan. Pendefinisian secara luas ini memungkinkan penerapan Robot Tax yang bersifat netral (Oberson, 2017).

Tantangan berikutnya adalah menentukan apa yang menjadi dasar pengenaan pajak dan bagaimana menghitung pajak yang terutang. Ada beberapa alternatif pengenaan pajak yang dapat diterapkan (Mazur, 2018).

PertamaRobot Tax dapat dikenakan atas remunerasi hipotetis yang dianggap “seharusnya diterima” oleh robot dari pekerjaannya, seandainya pekerjaan itu dilakukan oleh manusia. KeduaRobot Tax dapat dikenakan atas penghasilan yang timbul dari penggunaan robot dan teknologi terotomatisasi. Namun, hal itu menimbulkan pertanyaan lanjutan: bagaimana kita menghitung nilai tambah atau keuntungan yang diciptakan oleh robot atau teknologi terotomatisasi?

Alternatif selanjutnya, penggunaan rasio penjualan terhadap jumlah manusia yang menjadi karyawan dalam menghitung dasar pengenaan pajak. Semakin tinggi rasio penjualan terhadap jumlah karyawan, semakin besar pula dasar pengenaan pajaknya. Alternatif lainnya adalah menarik pungutan tambahan dari penjualan produk yang dihasilkan sepenuhnya dari penggunaan robot.

Selain itu, Abbot dan Bogenschneider (Abbott dan Bogenschneider, 2018) mengusulkan adanya penambahan tarif pajak penghasilan bagi perusahaan yang melakukan produksi tanpa menggunakan manusia atau memberikan insentif pada perusahaan yang memilih menggunakan manusia meskipun proses produksi bisa dilakukan dengan robot atau tanpa manusia.

Di ranah internasional, Robot Tax dapat memicu konflik mengenai karakterisasi dan atribusi penghasilan (Oberson, 2017). Hal itu disebabkan suatu negara mengkategorikan robot sebagai subjek pajak, sedangkan negara lainnya mengkategorikan robot sebagai subjek yang transparent sehingga pajak dikenakan kepada pemilik robot.

Penerapan ketentuan P3B atas remunerasi yang diterima robot juga dapat menimbulkan isu pemajakan jika salah satu negara memajaki remunerasi tersebut berdasarkan ketentuan employment income, sedangkan negara lain menerapkan ketentuan business profits atau other income atas remunerasi tersebut.

Tidak dapat dipungkiri, pengenaan Robot Tax bisa berdampak negatif kepada inovasi. Penerapan Robot Tax dapat menambah biaya penggunaan robot dan teknologi terotomatisasi sehingga tidak menstimulasi perusahaan untuk berinovasi. Menurut mereka yang tidak mendukung Robot Tax (Mazur, 2018), pengenaan Robot Tax menghukum perkembangan teknologi dan mengurangi produktivitas dari hasil inovasi, mengingat inovasi bisa menghasilkan teknologi baru yang berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu, implementasi pemajakan atas robot dapat mengakibatkan tingginya compliance cost dan administrative cost dalam pemungutannya.

Meskipun belum ada satu negara di muka bumi ini yang murni menerapkan Robot Tax, namun tanda-tanda kedatangannya mulai terlihat. Saat ini, Korea Selatan memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang berinvestasi di bidang teknologi terotomatisasi berupa pengurangan pajak penghasilan sebesar 3-7% tergantung nilai investasinya. Insentif tersebut akan dikurangi 2% mulai tahun 2019. Hal itu bisa saja mengurangi niat perusahaan untuk berinovasi.

Namun, bagaimana jika hasil dari inovasi di bidang teknologi terotomatisasi yang diberikan insentif pajak tersebut berhasil mengurangi pekerjaan yang dilakukan manusia di masa depan? Menghadapi tantangan era otomatisasi dan penggunaan robot di masa depan, gagasan tentang pengenaan Robot Tax patut untuk dikaji lebih lanjut secara meluas, komprehensif, dan mendalam.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.